Berita Jepang | Japanesestation.com

Di Jepang biasanya masyarakat yang membutuhkan akses komputer dengan cepat akan pergi menuju kafe internet. Tempat-tempat bisnis ini menawarkan ruang kecil yang tenang dan dilengkapi dengan desktop yang terhubung ke internet, kursi malas atau kasur futon, serta fasilitas dasar lainnya. Mereka juga menawarkan paket permainan dengan harga murah sehingga menjadikannya surga yang terjangkau dan terpencil bagi para gamer ataupun cyber homeless.

Sekitar 1.300 kafe internet beroperasi di pusat kota seluruh Jepang. Mereka tidak hanya memfasilitasi pengguna layanan internet pada umumnya, tapi juga banyak yang menggunakannya sebagai alternatif hotel terjangkau. Entah dikarenakan ketinggalan kereta terakhir atau terlalu lelah untuk menempuh perjalanan ke rumah, pengunjung sering kali mengandalkan kafe saat tidak memungkinkan untuk pulang. Alternatif ini sangat terjangkau mengingat semua akses internet dan minuman ringan gratis yang tersedia.

Mungkin hal inilah yang menjadikan para cyber homeless atau "tunawisma dunia maya" menyewa bilik kafe-kafe di seluruh negeri. Karena mereka tidak dapat tinggal di perumahan pada umumnya, mereka bergantung pada ketersediaan dan keterjangkauan kafe untuk berteduh.

Salah seorang pekerja yang tinggal di internet cafe (vimeo)

Pengungsi Net Cafe dan The Cyber ​​Homeless

Ketika kafe internet semakin populer di akhir 1990-an, mereka mulai menawarkan berbagai layanan yang lebih luas, seperti perpustakaan manga, aneka minuman dan makanan ringan, kamar mandi, dan bahkan layanan binatu. Dalam periode yang sama Jepang mengalami kelesuan ekonomi yang terlihat dari tingkat pengangguran tertinggi dalam sejarah negara itu. Dalam keadaan yang tidak pasti, munculnya para pengungsi net cafe menjadi hal lumrah, dan jumlahnya terus meningkat selama dekade berikutnya.

Pengungsi net cafe yang juga dikenal sebagai cyber homeless, adalah pelanggan kafe yang tidak memiliki tempat tinggal stabil. Mereka adalah korban PHK atau entah bagaimana mengalami kejatuhan ekonomi. Banyak yang memiliki pekerjaan temporer atau buruh harian yang hidup berdampingan. Banyak pula yang menggunakan upah harian mereka untuk membayar biaya sekitar 2000 yen atau lebih untuk sebuah bilik dengan tikar futon.

Kehidupan para tunawisma di Jepang (CNN)

Pada tahun 2018, Pemerintah Metropolitan Tokyo memperkirakan ada sekitar 4.000 cyber homeless di wilayah Tokyo saja. Mengingat popularitas kafe internet, hasil ini menunjukkan bahwa hampir satu dari empat pelanggan yang menginap di sana tidak memiliki tempat tinggal yang stabil.

Padahal para tunawisma tersebut masih harus membayar harga yang lumayan setiap bulannya. Dalam beberapa kasus, sebanyak 60.000 yen. Sementara apartemen di Tokyo yang disewakan dengan harga ini tidak pernah terdengar, buruh harian dan karyawan temporer tidak mungkin mampu membayar biaya awal yang signifikan saat menandatangani perjanjian sewa di Jepang.

Menemukan Tempat Berlindung Selama Pandemi

Ketika Jepang memberlakukan keadaan darurat sepanjang April dan Mei, banyak bisnis terpaksa menutup toko mereka sementara, sedangkan yang lainnya mungkin telah bangkrut. Kafe internet menghadapi tekanan yang sama tetapi tetap berjuang untuk mengakomodasi pelanggan jangka panjang tanpa opsi perumahan lainnya.

Seperti yang dilaporkan The Japan Times, beberapa pemilik kafe secara efektif dipaksa untuk tetap buka lebih lama dari yang dimaksudkan. Seorang pemilik kafe, berusia 50-an, melarang pelanggan baru tetapi mengizinkan 13 penduduk jangka panjang mereka yang merupakan cyber homeless untuk tetap tinggal meskipun pandemi menyebar. Sementara warga mencari perumahan alternatif, pemilik meneliti program pendukung dan sejenisnya. Dia mengatakan kepada The Japan Times, "Saya tidak bisa mengusir mereka karena saat itu cuaca masih sangat dingin. Selama mereka masih tinggal di sini, saya akan menjaga mereka." Meskipun demikian, pemiliknya mengakui bahwa dia menghadapi beban dengan tetap membuka usaha miliknya.

Internet Cafe
Internet Cafe (soranews24.com)

Untungnya, pejabat pemerintah setempat menyediakan pilihan perumahan bagi warga yang kehilangan tempat tinggal akibat pandemi. Banyak pemerintah prefektur telah mengatur perumahan murah dengan durasi sewa terbatas. Kota-kota lainnya juga membantu para cyber homeless yang mencari pekerjaan dan akomodasi selama keadaan darurat.

Bahkan ada yang masih menyerukan stadion Olimpiade untuk menyediakan tempat tinggal bagi para tunawisma selama masa-masa sulit. Sebuah petisi mengumpulkan ribuan penandatangan untuk itu. Apa pun jawabannya, mudah-mudahan bisnis dan pemerintah akan tetap menjaga populasi yang rentan dan tempat mereka berlindung di saat pandemi ini terus berlangsung.