Jumlah penutupan sekolah penitipan anak di Jepang telah meningkat tajam, mencapai 22 kasus antara Januari dan Juni 2025. Angka ini meningkat 70% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, menurut survei terbaru dari Teikoku Databank.
Tren yang mengkhawatirkan ini mencerminkan ketidakstabilan yang semakin meningkat di sektor pengasuhan anak di Jepang, yang didorong oleh dua tekanan utama yakni kekurangan pekerja pengasuhan anak yang semakin parah dan persaingan yang semakin ketat untuk mendapatkan murid di tengah menurunnya angka kelahiran di negara tersebut.
Sekolah-sekolah penitipan anak berskala kecil dan menengah menanggung beban terberat dari krisis ini. Banyak yang kesulitan merekrut dan mempertahankan staf yang berkualitas, sehingga memaksa mereka untuk membatasi jumlah murid dan beroperasi di bawah kapasitas. Sebagai tanggapan, beberapa fasilitas telah menaikkan gaji dalam upaya untuk mempertahankan karyawa, tetapi ini juga menyebabkan biaya operasional yang lebih tinggi.
Masalah ini semakin diperparah dengan adanya sekolah-sekolah yang menyediakan makanan di tempat yang terkena dampak dari melonjaknya harga pangan, sehingga menambah beban keuangan.
Menurunnya angka kelahiran adalah faktor utama lain yang mendorong peningkatan kebangkrutan. Meskipun jumlah sekolah penitipan anak telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, jumlah anak yang mendaftar tetap stagnan.
Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, hanya lebih dari 686.000 bayi yang lahir di Jepang pada tahun 2024, turun lebih dari 41.000 dari tahun sebelumnya dan untuk pertama kalinya angka kelahiran tahunan turun di bawah 700.000 sejak pencatatan dimulai.
Karena angka kelahiran terus menurun, persaingan di antara sekolah-sekolah penitipan anak semakin ketat, sehingga semakin sulit bagi fasilitas yang kekurangan sumber daya untuk mendapatkan murid yang cukup untuk tetap bertahan.