Setelah Perdana Menteri Abe menyatakan keadaan darurat di seluruh negeri, usaha non pokok yang sebelumnya tetap terbuka dengan kokoh, seperti tempat pachinko dan kafe Starbucks, sekarang ditutup, dalam upaya untuk membuat orang tetap di rumah. Termasuk dalam kategori itu adalah internet cafe di Tokyo, yang merupakan tempat bagus dan murah untuk menghabiskan malam jika kalian ketinggalan kereta terakhir, atau membutuhkan hotel murah. Mereka menawarkan kamar pribadi dengan internet gratis, serta sering kali termasuk bar minuman ringan gratis dan kadang-kadang bahkan makanan. Di sisi lain tempat ini juga menjadi tempat tinggal yang populer bagi mereka yang tunawisma atau menganggur dan tidak mampu menyewa apartemen di kota. Bahkan, satu dari empat pelanggan internet kafe di Tokyo adalah tunawisma.
Sayangnya, menutup internet cafe di Tokyo dan kota-kota lainnya berarti bahwa ribuan orang akan kehilangan tempat tinggal serta tidak akan memiliki tempat untuk tidur selama pandemik coronavirus berlangsung. Awalnya pengumuman penutupan seperti itu membuat marah para netizen dan aktivis, yang bertanya-tanya apakah pemerintah kota Tokyo memiliki rencana untuk mereka.
Untungnya pemerintah kota menyediakan perumahan bagi para tunawisma untuk saat ini. Rencana awal adalah menyewakan 400 apartemen pribadi dan unit perumahan pemerintah untuk mereka. Tetapi sampai tempat-tempat seperti itu dapat dikondisikan, sementara ini pemerintah telah meminjam jasa hotel bisnis lokal bagi para tunawisma untuk tinggal selama pandemik. Seperti halnya kamar hotel untuk memulihkan pasien coronavirus, perumahan ini akan dibayar oleh pemerintah kota selama program berlangsung.
Seorang pria tunawisma berusia empat puluhan yang telah tinggal di kafe internet di Tokyo selama tiga tahun terakhir dapat memanfaatkan program ini. Setelah kehilangan pekerjaan sehari-harinya karena wabah itu, ia hanya memiliki sedikit atau bahkan nyaris tidak punya uang sama sekali, dan mulai khawatir ke mana ia bisa pergi sementara kafe-kafe ditutup. Dia mengunjungi sekretariat bantuan untuk program bantuan perumahan pada 8 April, dan setelah diberi pengarahan tentang program tersebut, untungnya beliau dapat tinggal di sebuah hotel bisnis di Shinjuku pada 10 April.
Tapi tunawisma lain mungkin tidak seberuntung itu. Seperti banyak program bantuan publik lainnya, ada ketentuan berlaku, yaitu para tunawisma harus membuktikan bahwa mereka telah tinggal di Tokyo selama lebih dari enam bulan sebelum mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan. Bagi banyak orang yang tinggal di jalanan, itu merupakan tantangan, karena tanpa alamat yang sebenarnya, sulit untuk mendapatkan segala bentuk bukti bahwa mereka telah berada di Tokyo untuk waktu berapa pun. Banyak tunawisma bahkan tidak memiliki kartu identitas, sehingga tidak masuk akal untuk mengharapkan mereka memiliki laporan rekening bank, tagihan, atau dokumen lain yang dapat membuktikan kependudukan mereka.
Pria yang disebutkan di atas beruntung karena memiliki catatan mendonorkan darah dalam setahun terakhir, kalau tidak, ia mungkin akan ditolak. "Saya pikir akan sulit bagi banyak orang lain untuk membuktikan tempat tinggal mereka," katanya kepada NHK News. Setelah pemerintah kota dapat menyediakan apartemen, ia akan pindah lagi ke lokasi baru, tetapi sementara itu, ia merasa lega dapat tinggal di hotel bisnis, dan akan mencari pekerjaan sambil menerima dukungan dari pemerintah.
Tunawisma seringkali menjadi masalah yang melanda Jepang, tetapi setidaknya dalam kasus ini para tunawisma diharapkan mendapat motivasi untuk bangkit kembali memperbaiki kehidupannya setelah kebijakan penutupan bisnis internet cafe di Tokyo diberlakukan. Kami hanya bisa berharap bahwa penghalang tidak terlalu tinggi bagi banyak orang yang tidak mampu membayar atap di atas kepala mereka di masa-masa sulit ini.