Berita Jepang | Japanesestation.com

Sekolah seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan bagi para siswanya. Karena selain mendapat pendidikan dan ilmu, sekolah juga merupakan tempat bagi mereka untuk bersosialisasi, baik bersama teman atau guru-guru mereka. Namun nyatanya, bagi sebagian siswa, mengakhiri hidup jauh lebih baik daripada harus berangkat ke sekolah. Ya, anak-anak ini memang ada, dan jumlahnya cukup banyak. Mereka adalah futoko, anak-anak Jepang yang menolak bersekolah.

Futoko memang menjadi salah satu isu sosial yang tengah berkembang di Jepang. Para futoko ini seperti mengalami fobia terhadap sekolah, mereka selalu gelisah setiap membicarakan lingkungan sekolah, membuat tubuh mereka secara tidak langsung “menolak” sekolah.  

anak-anak Jepang futoko japanesestation.com
Ilustrasi remaja futoko (pakutaso.com)

Pada tahun 1992, futoko sempat disebut tokokyohi (penolakan) dan dikategorikan sebagai sebuah penyakit mental. Namun, pada tahun 1997, kata ini diganti menjadi “futoko” yang berarti tak hadir di sekolah.

Pada 17 Oktober 2018 lalu, pemerintah Jepang mengumumkan bahwa angka tidak hadirnya siswa sekolah naik dari 144.031 pada 2017 menjadi sekitar 164.528 orang anak yang absen selama lebih dari 30 hari.

Banyak faktor yang membuat anak-anak ini menjadi seorang futoko, seperti bullying dan tidak dapat bersosialisasi dengan orang lain.

Anak-anak Jepang Futoko japanesestation.com
Bullying, salah satu pemicu futoko (japanbullet.com)

“Futoko berbeda dengan bolos. Mereka tidak mampu pergi ke sekolah karena tidak bisa bersosialisasi dengan teman sekelasnya,” ujar Fr Marco Villa, seorang misionaris veteran dari Pontifical Institute for Foreign Missions (PIME) di Jepang.

Selain dengan teman sekelas, ada beberapa anak yang mengatakan bahwa selain di-bully, mereka juga mengalami hal kurang mengenakkan dengan guru atau peraturan sekolahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Tomoe Morihashi, seorang futoko berusia 12 tahun dan mengalami mutisme selektif, sehingga ia tidak bisa berbicara di depan publik.

"Aku tidak bisa berbicara di luar rumah atau jika jauh dari keluargaku. Jadi aku merasa tidak nyaman di depan banyak orang. Kehidupan sekolahku sangat menyakitkan,” ujar Tomoe.

Tak hanya itu, ia juga merasa sulit untuk mengikuti aturan yang dibuat sekolah umum di Jepang.  

"Kaus kaki harus berwana hitam atau putih, rambut tidak boleh dicat, bahkan warna ikat rambut juga ditetapkan dan tidak boleh dipakai di lengan,” tambahnya.

Yang makin memprihatinkan, tak jarang ditemukan kasus di mana seorang futoko lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hal ini dibuktikan dengan beberapa data yang mengungkapkan kalau angka kasus bunuh diri di kalangan anak muda Jepang naik setiap waktu masuk kembali ke sekolah (setelah libur musim panas).

Ilustrasi bunuh diri (japantoday.com)

Menurut penelitian pada tahun 2015 yang dilakukan oleh pemerintah, pada tahun 1972 hingga 2013, ada 131 anak di bawah umur 18 tahun yang mengakhiri hidupnya pada 1 September, hampir 3 kali lebih banyak dibandng rata-rata sebelumnya yang berjumlah 49 orang. Intinya, setiap tahunnya angka bunuh diri makin tinggi menuju akhir Agustus.