Perhatian pada mereka yang merupakan anggota minoritas seksual kini semakin ditingkatkan di Jepang meski masih mengalami banyak masalah. Salah satunya terjadi baru-baru ini, guru di nursery school dan TK di Jepang kesulitan mengajarkan anak-anak terkait minoritas sesksual, dibuktikan dengan terjadinya kasus di mana seorang anak laki-laki berumur 6 tahun berhenti mendatangi nursery school setelah dibully karena mengenakan pakaian anak perempuan.
Melansir Kyodo via Mainichi, anak tersebut terdaftar di sebuah nursery school negeri di Otsu, Prefektur Shiga pada 2019. Orang tuanya mengetahui bahwa ia sering dihina oleh teman-teman sekelasnya yang memanggilnya dengan sebutan hinaan, seperti “boy girl.” Lewat sebuah tulisan tangan, anak laki-laki itu menuliskan, “dijauhi,” “dipukuli,” dan “diminta menjauh,” serta berbagai pesan lainnya dan menunjukkannya pada orang tuanya.
Sayangnya, saat orang tuanya berkonsultasi dengan pihak pemerintah kota, mereka mengatakan bahwa “bullying tidak dapat diaplikasikan dalam kasus tersebut,” karena hukum yang mengatur pencegahan bullying di sekolah hanya berlaku bagi siswa SD, SMP dan SMA.
Setelah orang tua anak tersebut terus mendesak agar kasus tersebut diusut, pemerintah kota mengakui adanya bullying dan meminta maaf pada November 2020. Kendati demikian, anak itu tak ingin kembali ke sekolah.
Hukum yang mengatur tentang bullying yang mukai berlaku sejak 2013 tersbeut dibbuat setelah adanya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang siswa SMP di Otsu pada 2011.
Menurut Toshiyuki Kasugai, profesor di Ritsumeikan University sekaligus kepala komite yang dibuat oleh pemerintah Otsu untuk mencegah bullying pada anak, bullying dapat terjadi di usia anak-anak awal meski hukum tersebut tak berlaku bagi anak-anak di nursery school. Karena alasan tersebut, mursery school dan TK harus menangani masalah-masalah yang dihadapi minoritas seksual di kalangan anak-anak dengan "berdasarkan prinsip-prinsip hukum.”
Dengan berkembangnya pemahaman tentang minoritas seksual, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender, orang tua menjadi lebih menerima. Akibatnya, kemungkinan akan ada peningkatan kasus seperti kasus yang melibatkan anak laki-laki di Otsu dan makin dibutuhkannya pemahaman terkait minoritas seksual di antara anak-anak usia pra-sekolah.
Nursery school tempat anak tersebut belajar sebenarnya telah mengajarkan anak-anak terkait isu identitas dan meminta agar anak-anak menghargai perasaan teman mereka. Kendati demikian, tetap saja masalah bully tak dapat dihindari.
“Lebih dari separuh dari mereka yang mengalami isu identitas gender mulai merasa tak nyaman dengan gendernya saat memasuki SD,” ujar Mikiya Nakatsuka, profesir di Okayama University dan kepala Japanese Society of Gender Identity Disorder.
Nakatsuka mendorong fleksibilitas dalam memberkan pemahaman pada siswa pra-sekolah terkait isu identitas gender.
"Semakin awal, semakin baik untuk mengajarkan tentang masalah tersebut pada anak-anak. Akan lebih efektif untuk menggunakan buku bergambar atau membuat anak-anak bertemu dengan orang dewasa yang merupakan anggota minoritas seksual.
Mika Yakushi, seorang transgender dan perwakilan dari ReBit, sebuah organisasi nonprofit yang mendukung para minoritas seksual, mengatakan bahwa anak-anak prasekolah yang memiliki isu terkait gender akan lebih sulit mengungkapkan perasaannya pada orang lain.
"Jika seorang anak laki-laki mengatakan bahwa ia ingin mengenakan rok, orang dewasa seharusnya mendengarkannya dan membiarkannya menjadi dirinya sendiri,” ujar Yakushi.
"Namun, pemahaman diri akan identitas gender dapat berubah, jadi sangat penting untuk mengamati dan memahami gerak-gerik anak tanpa melabeli mereka sebagai seorang minoritas seksual,” tuturnya.