Berita Jepang | Japanesestation.com

Pemerintah Asahikawa, Jepang akan menyelidiki kembali kasus bullying yang dibantah oleh pejabat dewan pendidikan pada 2 tahun lalu. Hal ini dilakukan setelah kasus ditemukannya mayat seorang gadis berusia 14 tahun di sebuah taman.  

Saaya Hirose, nama gadis itu, adalah seorang siswi SMP tahun kedua yang menghilang dari rumahnya di Asahikawa di Hokkaido pada Februari lalu. Pejabat setempat pun menemukan gadis itu dalam keadaan tak bernyawa di sebuah taman tanpa adanya jejak kriminal.

Menurut Majalah Weekly Bunshun, mengutip laporan otopsi polisi, gadis itu nampaknya tewas akibat hipotermia setelah menghilang.

bullying jepang japanesestation.com
Ilustrasi bullying (pixta)

Kematian dan sebuah pernyataan dari ibunya bahwa ia adalah korban bully membuat Wali Kota Asahikawa Masahito Nishikawa memberi instruksi pada pejabat dewan pendidikan untuk menyelidiki ulang kasus tersebut.

Pada Kamis (6/5) lalu, dewan pendidikan kota itu mengatakan bahwa sebuah panel yang melibatkan seorang pengacara, psiakiater, pekerja sosial, dan akademisi akan memulai penyidikan pada bulan ini.

Bullying adalah masalah yang terus berkembang di sekolah-sekolah Jepang dan kerap dikritik karena ketidakpedulian terhadap anak-anak yang dianiaya oleh teman-temannya.

wanita Jepang muda stress japanesestation.com
Ilustrasi wanita muda Jepang yang stress. (pakutaso.com)

Tahun lalu, tercatat 612.000 kasus bullying dilaporkan di sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, menurut kementerian pendidikan. Dikatakan ada 479 kasus bunuh diri di antara siswa, rekor baru yang mayoritas dikaitkan dengan kesulitan keuangan dan psikologis selama pandemi. Enam di antaranya pun terkait dengan bullying.

Dalam masyarakat Jepang yang sangat kompetitif tetapi konformis, bullying di sekolah sering kali melibatkan pelecehan jangka panjang oleh sekelompok siswa terhadap seseorang yang mungkin terlihat lemah atau berbeda. Anak-anak dengan bakat luar biasa, cacat fisik, atau asuhan orang asing juga dapat menjadi sasaran.

Dugaan bullying terhadap Saaya dimulai pada musim semi 2019 setelah ia memasuki SMP yang dikelola kota di kota Asahikawa, kata para pejabat.

Menurut majalah Weekly Bunshun, kasus tersebut awalnya muncul pada 2019 ketika sejumlah teman sekelas Saaya secara paksa mengambil foto telanjangnya dan mengunggahnya di media sosial. Ia memohon agar mereka berhenti dan mencoba membujuk mereka dengan melompat ke sungai untuk bunuh diri, katanya.

bullying jepang japanesestation.com
Ilustrasi bullying (pixta)

Ia  berhasil diselamatkan dan insiden tersebut menyebabkan penyelidikan internal oleh otoritas pendidikan sekolah dan kota. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada perundungan, kata pejabat dewan pendidikan Hiroki Tsujinami.

Saaya dipindahkan ke sekolah lain di kota, tetapi menjadi tertutup dan selalu berpikiran  untuk bunuh diri, menurut majalah tersebut.

Pada akhir April, Menteri Pendidikan Koichi Hagiuda pun meminta penyelidikan penuh atas kematiannya.

Keluarga Saaya mengatakan dalam sebuah pernyataan bulan lalu bahwa mereka berharap penyelidikan baru akan mengungkap kebenarannya.

Bullying sering kali luput dari perhatian di sekolah-sekolah Jepang, di mana guru biasanya menangani kelas yang terdiri dari sekitar 40 siswa dan sibuk dengan kegiatan setelah sekolah dan pekerjaan lain. Bullying memang dianggap memalukan bagi sekolah.