Teman-teman pembaca JS, pernah gak sih menyadari kalau pria Jepang jarang ada yang berkumis? Coba perhatikan deh dorama atau anime, karakter bapak-bapak pun jarang kan ada yang memiliki kumis? Nah, kira-kira kenapa ya pria Jepang tidak berkumis? Yuk, kita telusuri!
Kumis dalam Bahasa Jepang dan Jenis-jenisnya
Sebelum mempelajari sejarahnya, mari mengenal kumis dalam bahasa Jepang dan kenis-jenisnya. Nah, dalam bahasa Jepang, rambut di wajah (kecuali alis) disebut dalam satu kata saja: hige. Malah bingung membedakan kumis dan rambut wajah lainnya? Tenang, kanji-nya beda kok, meski dibaca hige. Misalnya:
- Kumis: 髭
- Rambut pipi: 鬚
- Janggut: 髯
Nah, kumis juga ada jenis-jenisnya lho! Kumis paling umum (yang terdapat di atas mulut) di Jepang disebut kuchi-hige. Untuk kumis populer ini, ada tiga gaya. Dalam bahasa Jepang, ada “kumis handlebar/Kaiser atau カイゼル髭”, “kumis sikat gigi aliasちょび, dan “kumis pencil-thin atau 泥鰌髭どじょう.”
Selain kuchi-hige ada ago-hige, kumpulan rambut yang tumbuh di dagu, di atas bibir, di pipi bagian bawah, dan leher. Gaya paling terkenal dari ago hige adalah “goatee” alias yagi-hige 山羊髯 (janggut kambing). Ada juga yang sedikit unik, membuat janggut berbentuk seperti Gunung Fuji. Namanya pun fuji-hige (富士髯). Waw. Sangat Jepang. Kombinasi umum lain adalah menggabungkan goatee dan kumis, yang disebut round hige(ラウンド髭). Banyak juga ya?
Sejarah Kumis di Jepang
Nah, berbeda dengan zaman sekarang, di awal Zaman Samurai dulu, seorang pria harus berkumis jika ia adalah seorang Samurai. Seorang samurai yang tidak berkumis akan diejek. Karena itulah, mereka yang tak bisa menumbuhkan kumis harus menggunakan kumis palsu, seperti Hideyoshi Toyotomi,
Saat keshogunan Edo mulai memasuki masa tenang dan menjadi “penduduk biasa”, memperlihatkan semangat perang dianggap menjadi tanda pembelotan. Dan karena kumis dianggap merepresentasikan spirit perang samurai, daimyo mulai mencukur kumis mereka dan menyisakan mage (髷), rambut panjang di bagian belakang kepala yang diikat atau dibuat menjadi semacam sanggul. Aturan ini bertahan hingga abad ke-17, saat pemerintah melarang semua orang memiliki hige dengan alasan karena hige dapat merusak moral masyarakat, membuat semua orang mencukur kumis mereka. Namun, orang-orang yang memiliki luka di wajahnya diberi kelonggaran untuk menumbuhkan hige untuk menutupinya.
Di pertengahan akhir abad ke-17, memiliki wajah bersih tanpa kumis pun menjadi standar pria Jepang. Namun, di Hokkaido, ada kelompok masyarakat Ainu yang memiliki hige namun tidak memiliki mage. Hal ini menyebabkan tempat tinggal masyarakat Ainu, Ezo-chi/Yezo ( 蝦夷地) dianggap sebagai tanah pembelot karena mereka memiliki hige. “Diskriminasi hige” inilah yang dianggap merupakan salah satu alasan inti mengapa masyarakat Jepang lain mulai menghina masyarakat Ainu.
Namun, pada abad ke-18, kumis menjadi sangat populer di Inggris dan Eropa. Hal ini membuat pria Jepang berpangkat tinggi di era Meiji (setelah Keshogunan anti-kumis berakhir) mulai menumbuhkan kembali kumis mereka. Bahkan, Gaishi Nagaoka, seorang petugas di Military Staff College di Tokyo menumbuhkan kumisnya hingga sepanjang 70cm!
Nah, pada Zaman Taishou era (1912-1926 Masehi), orang-orang masih memoertahankan kumis sikat gigi mereka. Namun, gaya baru tanpa kumis yang disebut MOBO (Modern Boy) menjadi populer, menyebabkan demam hige padam hingga Zaman Showa (1926–1989) di mana demam hige kembali (meski tak lama). Setelah perang berakhir, alat cukur tersebar di seluruh Jepang dan mencukur kumis pun dianggap sebagai gaya yang sopan dan terhormat bagi para salaryman di masa rekonstruksi akibat perang.
Kumis dalam Jepang Modern
Kini, kepopuleran kumis (dan hige lain) di Jepang terus menurun. Meski masih ada beberapa orang yang berkumis, tetap saja jauh lebih banyak pria Jepang yang memilih untuk tidak berkumis. Ya, mental kumis = tidak baik masih berkembang dalam pikiran pria Jepang.
Tak hanya itu, banyak aturan pekerjaan yang tidak memperbolehkanmu berkumis. Hal ini bisa terlihat di industri-insustri berikut: perbankan, investasi, asuransi, perkereta apian, penerbangan, bus, taksi, retail, restoran, dan hotel. Perusahaan-perusahaan ini menetapkan peraturan ini karena pemecatan, skors, dan mengurangi upah adalah pelanggaran hak asasi. Karena itu, lebih baik dibuat peraturannya kan?
Faktasnya, ada beberapa insiden yang terpaksa harus melibatkan pengadilan hanya gara-gara kumis. Contohnya, seorang petugas pos bernama Noboru Nakamura yang harus menyewa pengacara untuk mempertahankan haknya dalam memiliki kumis dan menggugat regulasi Japan Post. Ada juga seorang supir taksi yang melakukannya. Kasus-kasus ini disebut hige-saiban (髭裁判).
Intinya, di Jepang, kemungkinan untuk dipecat gara-gara kumis sangat besar. Belum lagi harus menyewa pengacara jika ingin menggugat. Repot.
Jadi, tak aneh kan jika banyak pria Jepang yang tak berkumis?