Pada 6 April 1945, kapal perang Yamato milik Angkatan Laut Kekaisaran Jepang berlabuh di Teluk Tokuyama di Prefektur Yamaguchi. Kapal terbesar dan paling ditakuti di dunia ini tengah bersiap untuk menuju area perairan Okinawa, tempat di mana kapal besar itu mengakhiri perjuangannya. Di saat yang sama, sang komandan Yamato telah pasrah, seakan tahu bahwa ia tak akan kembali. Keesokan harinya, kapal perang besar itu memang harus menghadapi para sekutu dalam misi bunuh dirinya.
Namun, tak hanya situasi militer saat itu yang menyebabkan Yamato tak bisa kembali “pulang.” Masih ada beberapa hal lain, seperti fakta bahwa kapal perang tersebut sulit digunakan, dan para perwira tinggi militer telah mengambil keputusan sendiri untuk menilai apa yang Kaisar ingin mereka lakukan.
Yamato tak berlayar sendiri dalam operasi bunuh diri itu, ada 10 armada kapal termasuk Yahagi, Hamakaze, Asashimo, dan Isokaze. Dan pada pukul 6 sore pada 6 April, pejabat eksekutif Yamato, Jiro Nomura, mengumpulkan kru di dek depan. Ada sebuah upacara dan para awak kapal pun membungkuk terlebih dahulu ke arah Istana Kekaisaran di Tokyo, dan kemudian ke kampung halaman mereka masing-masing.
"Saya tidak takut mati, tetapi saya menjadi sedih ketika fakta bahwa saya tidak akan dapat melihat bunga sakura lagi, terlintas,” ujar salah satu veteran yang masih bertahan hidup.
Armada Yamato hampir tidak memiliki perlindungan via udara. Mobile task force milik Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang kuat seperti kelompok penyerang yang menyerang Pearl Harbor, semuanya telah hancur dalam Perang Pasifik. Hanya ada 10 atau lebih pesawat yang telah ditugaskan untuk melindungi armada kecil; serangan udara "tokko" yang lebih dikenal dalam bahasa Inggris sebagai serangan "kamikaze" pun membuat militer Jepang tidak memiliki pesawat tempur.
Hidemi Fujiwara, yang berjaga-jaga di Yamato, melihat sekelompok pesawat tempur AS menabrak armada sekitar pukul 12:40 malam. pada 7 April. Itu baru gelombang pertama. Secara total, ternyata ada 113 dari mereka; 52 pesawat tempur, 21 bomber, dan 40 torpedo bomber.
Pada 8 April, sehari setelah Yamato tenggelam, Markas Besar Umum Kekaisaran Jepang mengumumkan "keberhasilan militer" kelompok angkatan laut "tokko". Namun, misi terkutuk Yamato itu dikritik keras baik dari dalam maupun luar armada. Faktanya, beberapa bersaksi kemudian bahwa seluruh strategi "tokko" lintas laut di sekitar Okinawa telah dilakukan secara terburu-buru. Ide cemerlang itu dieksekusi dengan tergesa-gesa, menyebabkan kematian sia-sia ribuan tentara Jepang.
Saat ditanyai oleh Kaisar Hirohito, Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai mengatakan bahwa armada itu "tidak memiliki cukup bahan bakar, pelatihan atau persiapan" untuk menjalankan misinya.
"Koordinasi dengan unit udara juga kurang. Rencananya salah jalan, kurang fleksibel, dan tidak sesuai," lanjut evaluasi Yonai.
Tetapi tampaknya Kaisar Hirohito memiliki harapan yang tinggi terhadap Yamato. Dan fakta Bahwa kapal harus hilang dalam misi sembrono seperti layaknya pil pahit. Setelah Perang Dunia II, Kaisar berkata, "Yamato kami yang sangat berharga dikerahkan saat ini tetapi tanpa komunikasi dengan pesawat, dan itulah yang menyebabkan rencana gagal." Dia menambahkan, "Dengan strategi tersebut, itu merupakan pertempuran yang bodoh."
Tapi bagaimana perasaan 4.000 tentara yang tewas jika mereka mendengar kata-kata Kaisar Hirohito? Apakah mereka akan mengatakan bahwa para politisi dan perwira senior dalam perang itu " bodoh"?
Diyakini, Yamato hanya membawa bahan bakar untuk perjalanan satu arah ke Okinawa, tetapi sebenarnya semua kapal di armada itu membawa cukup bahan bakar untuk kembali ke daratan Jepang. Namun, ketika Armada Gabungan (Combined Fleet) pertama kali melayangkan rencana tersebut, reaksi Staf Umum Angkatan Laut sedikit “hangat.” dan akhirnya dikeluarkan perintah agar armada hanya membawa bahan bakar yang cukup untuk mencapai Okinawa.
Namun, perwira staf yang bertugas membagikan bahan bakar berpikir bahwa meskipun kemungkinan kapal kembali kecil, hanya memberi mereka bahan bakar yang cukup untuk satu cara tidak sesuai dengan semangat samurai. Ia kemudian tampaknya memberikan bahan bakar yang cukup untuk membawa armada pulang.
Data yang menyebutkan bahwa Yamato diberi 4.000 metrik ton minyak yang cukup untuk membawanya kembali ke Jepang ini dikumpulkan dari buku-buku Armada Gabungan. Sementara itu, kapal perusak (destroyer) pengawalnya tidak memiliki cukup minyak berat untuk perjalanan pulang pergi, dan menutupinya dengan mengganti dengan minyak kedelai dan minyak lainnya. Ada kesaksian yang mengatakan bahwa cerobong asap kapal "berbau seperti kacang mendidih."
Ada kecenderungan untuk menceritakan kisah unit "tokko" sebagai kisah heroik; untuk mengatakan bahwa mereka yang meninggal "memberikan hidup mereka untuk melindungi orang yang mereka cintai dan negara mereka." Tapi itu hanya satu sisi dari kenyataan.
Ada banyak tentara muda Jepang yang meninggal tanpa pernah ingin bergabung dengan unit "tokko." Ada sisi lain yang harus diperhatikan dari cerita ini, yaitu mereka yang dikorbankan untuk misi irasional yang direncanakan oleh perwira senior dalam perang sembrono yang diluncurkan oleh para politisi ini. Misi "tokko" armada Yamato, menurut pengakuan Angkatan Laut sendiri, gagal. Membuat kita berpikir bahwa tenggelamnya Yamato dapat dikatakan sebagai simbol perang gila Jepang.
Kisah Yamato sendiri tentu akan terus diceritakan. Namun, ada baiknya jika cerita-cerita itu tak hanya berfokus pada sisi heroiknya saja, kan?