Salah satu pekerjaan yang banyak diminati pemuda Jepang adalah salaryman alias pekerja kerah putih dengan gaji tetap yang sangat setia dan berkomitmen pada perusahaan tempatnya bekerja. Ya, di Jepang, bekerja menjadi seorang salaryman bukan hanya tradisi belaka, tapi juga tolak ukur kesuksesan yang bergengsi. Jadi, jika mereka tidak mencoba menjadi salaryman, mereka akan dianggap gagal dan mengecewakan orang tua mereka. Menjadi salaryman juga berarti menerima gaji tetap dengan karir yang stabil, serta memiliki beberapa keuntungan, seperti cuti berbayar dan bonus 2 kali dalam setahun (pada musim panas dan musim dingin). Jadi, tidak aneh kan jika banyak pemuda Jepang yang ingin menjadi salaryman? Sayangnya, di balik semua itu, salaryman Jepang memiliki beberapa fakta gelap. Apakah itu?
Perusahaan Tempatmu Bekerja adalah Hidupmu
Sebelumnya sudah dijelaskan kan kalau para salaryman sangat setia pada perusahannya? Memang benar. Meski sangat kecil kemungkinan seorang salaryman akan dipecat atau di-PHK, para salaryman seperti menukar hidupnya dengan kesetiannya pada perusahaan. Bahkan, para salaryman juga biasanya memperkenalkan diri dengan menyebut nama perusahaan tempatnya bekerja.
Tidak sampai di situ saja,selain bekerja, para salaryman juga seperti memiliki kewajiban untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan “bersantai” sepulang bekerja bersama koleganya, seperti berkumpul bersama di izakaya untuk mengikuti nomikai. Kegiatan-kegiatan seperti ini tentu membuat waktu bersama keluarga sangat sedikit karena besar kemungkinan nomikai ini berlangsung hingga larut malam di mana hanya tersisa kereta terakhir saja. Energi pun bakal terkuras habis sehingga sesampainya di rumah, hanya bisa tidur untuk mengumpulkan tenaga keesokan harinya.
Jam Kerja Super Panjang
Jangan bermimpi bekerja dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore jika kamu bekerja menjadi seorang salaryman. Mereka bekerja untuk waktu yang sangat panjang! Bahkan, sebuah laporan di CNN menyebutkan jika umumnya para salaryman bekerja selama 13 jam per hari selama 6 hari per minggu. Malah, situs Facts and Details menyebutkan bahwa ada beberapa salaryman yang belerja selama 16 jam per hari dan berusaha untuk mengerjakan semua yang diperintahkan oleh atasan mereka meski perintah sang atasan sangat tidak penting karena takut tidak akan mendapat promosi. Biasanya, para salaryman juga tidak akan pulang sebelum atasan atau teman-teman mereka pulang.
Produktivitas Tidak Dihargai
Sebagai seorang salaryman, besarnya gaji yang kamu dapat didasarkan oleh senioritas, bukan performa kerja. Hal ini dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kesetiaan pegawai. Karena itu, banyak pekerja yang sedikit “bersantai” dengan pekerjaannya karena jam kerja yang super panjang dengan cara menyebarkan tugas-tigasnya untuk mengisi waktu panjang tersebut. Sayangnya, hal ini membuat Jepang dijuluki sebagai salah satu negara paling tidak produktif di sunia versi Trading Economics.
Tapi, memang tidak aneh jika para salaryman berusaha bersantai sebisa mungkin di tengah jam kerja yang panjang. Hal ini dilakukan untuk mencegah stress yang terjadi akibat tuntutan perusahaan dan pandangan orang-orang.
Salaryman Jepang yang dianggap “baik” di Jepang adalah mereka yang datang paling pagi namun pulang paling malam. Karena itu, banyak dari mereka yang bekerja lembur hingga larut malam agar dianggap “baik”. Sayangnya, kebanyakan dari mereka sama sekali tidak menerima uang lembur meski ada beberapa perusahaan yang memberi uang lembur pada pegawainya, namun itu pun tak sebanding dengan jam kerja yang dilewati para pegawai.
"Orang-orang memujimu berdasarkan berapa lama kamu bekerja, bukan baik atau buruknya pekerjaan yang kamu lakukan,” ujar salah seorang salaryman, dikutip dari situs Fact and Details.
Kesehatan Buruk dan Karoshi
Jam kerja panjang dan tidak seimbangnya antara kehidupan di luar pekerjaan dan kehidupan dalam pekerjaan tentunya dapat berdampak negatif pada kesehatan para salaryman. Gaya hidup ekstrim salaryman dapat menyebabkan tekanan, stress, depresi, atau yang lebih parah lagi, karoshi alias tewas karena kelelahan bekerja, entah karena penyakit akibat kelelahan atau stress berkepanjangan yang memicu mereka untuk bunuh diri. Seram juga kan?
Ternyata, kehidupan para salaryman yang terlihat normal bagi orang awam menyimpan banyak sisi gelap ya? Jika kamu berkesempatan untuk bekerja di Jepang nanti, apakah masih tertarik untuk menjadi salaryman?
Sumber: