Berita Jepang | Japanesestation.com

Pertempuran Sekigahara adalah pertempuran pada akhir masa Sengoku (perang sipil) di Jepang, yang terjadi di lembah Sekigahara pada tanggal 21 Oktober tahun 1600. Pertempuran ini terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh Ieyasu Tokugawa dan Mitsunari Ishida, dan juga merupakan pertempuran yang menentukan dalam proses penyatuan seluruh Jepang.

Dua tahun telah berlalu sejak Hideyoshi Toyotomi meninggal dunia dengan hanya meninggalkan seorang anak yang masih bayi, Hideyori Toyotomi, sebagai penerusnya. Saat itulah Tokugawa yang merupakan pimpinan dewan kepemimpinan Hideyoshi, mengambil alih kepemimpinan. Hal ini ditentang oleh anggota dewan yang sama, Mitsunari Ishida, dan perebutan kekuasaan mereka berkulminasi pada pertempuran Sekigahara.

Mitsunari Ishida lebih dikenal oleh kemampuan politiknya dibanding kekuatan militernya. Namun dukungannya terhadap putra Hideyoshi mendatangkan dukungan dari banyak pihak, seperti Mori dari Chosu, klan Kobayakawa, klan Kikkawa, klan Ukita, dan klan Shimazu dari Satsuma, dengan total pasukan yang dipimpinnya berjumlah sekitar 80 ribu orang. Dukungan ini banyak berasal dari klan yang berada di barat Jepang, sehingga pasukannya dikenal juga sebagai "Pasukan Barat."

Sementara itu Ieyasu yang berbasis di Edo, didukung oleh keluarga Matsudaira, dan jenderal terkenal seperti Naomasa Ii, juga keluarga daimyo terkenal seperti klan Kato, klan Hosokawa, dan klan Kuroda. Pasukan yang sebagian besar berasal dari Jepang timur ini berjumlah sekitar 74 ribu orang, dan disebut "Pasukan Timur."

Pertikaian yang memicu pertempuran ini dimulai beberapa bulan sebelumnya. Pada bulan Juli, Ieyasu menarik diri dari kursi dewan di Osaka untuk melindungi wilayahnya di timur dari serangan faksi Ishida. Pada saat itu Ishida menggunakan pasukan sekutunya untuk menyerang Tokugawa dari belakang.

Namun, Tokugawa dengan informasi dari mata-matanya yang mengetahui hal ini dengan cepat menyusun aliansinya sendiri, dan meninggalkan Edo pada bulan Agustus untuk melakukan serangan tipuan ke arah utara. Namun ia kemudian bergerak ke selatan untuk memotong jalur serangan pasukan Ishida.

Saat Ieyasu berhasil menutup jalur ke Edo dengan merebut Kastil Gifu dan Kastil Konosu, Ishida masih berada di Kastil Ogaki, setelah tertahan dalam merebut kastil Fushimi, di selatan Kyoto. Selain itu, mata-mata Ieyasu pun menyebarkan kabar bahwa Ieyasu bertujuan menyerang pertahanan Ishida di Sawayama, di barat Sekigahara, yang jika berhasil dilakukan akan membuka jalan Ieyasu ke Kyoto dan Osaka, di mana Hideyori berada.

Pada tanggal 20, Ishida memutuskan untuk menarik diri dari kastil Ogaki dan mempertahankan Sekigahara untuk memotong serangan pasukan Ieyasu ke arah barat. Ini sebenarnya adalah tujuan Ieyasu, karena walau jumlah pasukannya lebih sedikit, untuk pertempuran di lapangan terbuka, Ieyasu berada di atas angin.

Pada pagi hari tanggal 21, pandangan mata di Sekigahara tertutup oleh kabut tebal, dan para prajurit pun basah oleh hujan lebat yang turun malam sebelumnya. Namun demikian, pada pukul 8 pagi, saat kabut mulai menipis, ketenangan tersebut pun dipecahkan oleh suara tembakan senapan saat serangan pertama menembus lembah tersebut.

Pasukan terdepan Tokugawa yang dipimpin oleh Naomasa Ii dan Masanori Fukushima memulai penyerangan ke bagian tengah garis pertahanan Pasukan Barat. Pertempuran daya tahan antara kedua pasukan pun dimulai. Pasukan Timur bertahan di sisi sebelah utara lembah itu, di mana Ishida membuat pusat komandonya, namun garis selatannya dipertahankan dengan ketat oleh pasukan Otani yang berpihak pada pasukan Barat. Jika pertahanan tersebut dapat terus bertahan, maka hari itu akan dimenangkan oleh Ishida, karena dengan itu ia akan bisa menahan penyerangan ke arah barat yang dilakukan oleh Ieyasu.

Titik balik pertempuran tersebut dipegang oleh sekutu Ishida, klan Kobayakawa yang belum masuk medan pertempuran dan hanya mengamati pertempuran tersebut dari lereng bukit di atas garis pertahanan sebelah selatan pasukan Ishida. Ishida telah mengirim sinyal meminta pergerakan Kobayakawa untuk menjepit pasukan Timur dan memudahkan pergerakan klan pasukan Otani. Jika hal tersebut terjadi, maka pasukan Hideyoshi yang kekurangan pasukan karena anaknya, Hidetada, tidak kunjung datang dengan 38 ribu pasukannya, akan menderita kekalahan.

Tanpa diketahui oleh Ishida, pasukan Kobayakawa telah membelot dari Ishida dengan pengaruh dari mata-mata Ieyasu dari sebelum pertempuran dimulai. Pada saat pasukan Kobayakawa menuruni lereng tersebut setelah ditembaki panah dari pasukan Tokugawa, yang mereka serang adalah pasukan Otani. Saat itu pasukan Otani masih dapat bertahan, namun seiring dengan bertambahnya desertasi dan pengkhianatan yang terjadi akhirnya berhasil menjebol pertahanan pasukan Otani. Otani pun mengakhiri pertahanannya dengan melakukan ritual seppuku.

Kehilangan pertahanan sebelah selatan, pasukan Ishida akhirnya menyadari bahwa mereka telah kalah. Sebagian besar di antara mereka menyerah dan menurunkan senjata mereka, termasuk Ishida sendiri, yang kabur ke Gunung Ibuki. Hanya pasukan Shimazu yang bertahan, melawan pasukan Naomasa Ii dan pasukan Iblis Merah-nya, dan berhasil melukai Naomasa dengan tembakan senapan melalui lengannya. Namun pada akhirnya Shimazu pun mengakui kekalahannya, dan terpaksa mundur dari pertempuran.

Dengan jalan kabur ke utara kini tertutup, pilihan terakhirnya adalah melalui bagian tengah pasukan Tokugawa dan mengambil jalan ke arah Ise. Dengan menukar helmnya dengan helm keponakannya, Shimazu berhasil melalui pasukan Tokugawa dengan masih dikejar oleh pasukan Naomasa Ii. Begitu tiba di jalan Ise, keponakan Shimazu bertahan di belakang untuk menahan pasukan pengejar, dan walaupun akhirnya ia terbunuh, Shimazu sendiri dapat kembali ke Kyushu dengan selamat bersama 80 orang pasukannya.

Ishida sendiri tertangkap tiga hari kemudian setelah pertempuran di Gunung Ibuki, dan dieksekusi di tepian sungai di Kyoto beberapa hari kemudian bersama dengan pemimpin pasukan barat lain yang tertangkap, sementara pemimpin-pemimpin lain banyak yang diusir atau dicabut hak kepemilikan wilayahnya. Segera setelah kemenangannya ini, Ieyasu mulai membagi-bagikan wilayah kekuasaannya untuk menguatkan posisinya, dan memulai hegemoni Keshogunan Tokugawa, sebuah sistem diktator militer yang akan bertahan selama 265 tahun di Jepang, hingga tahun 1868.

(All images: nakasendoway.com)