Tidak hanya berdampak pada ekonomi, wabah virus corona atau COVID-19 rupanya bisa merambat ke berbagai masalah lain, seperti Corona Divorce dan naiknya tingkat kekerasan dalam rumah tangga di Jepang. Ya, dalam 16 tahun terakhir, angka kekerasan rumah tangga di Jepang terus meningkat, dan dengan keadaan terperangkap akibat COVID-19 seperti sekarang, bukan tak mungkin jika tingkat kekerasan dalam rumah tangga meningkat dua kali lipat. Nah, apa penyebabnya?
Stress dan Tekanan
Vickie Skorji, direktur dari TELL Japan, sebuah hotline pencegahan bunuh diri dan kekerasan di Jepang, menjelaskan bagaimana stress karena pandemi dapat meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga.
“Di masa bencana seperti ini, kita semua pasti mengalami stress ekstra yang menambah tekanan dalam hubungan yang telah rentan. Semakin stress seseorang, semakin berat pula tekanan dalam hubungan yang ia jalani,” ujar Skorji.
Menurut Skorji, hal ini bisa terjadi karena berbagai hal. Misalnya, salah satu dari pasangan kehilangan pekerjaan mereka, belum lagi adanya anak-anak, atau keadaan yang memaksa pasangan work from home, membuat potensi Corona Divorce pun semakin tinggi.
“COVID-19 yang memaksa orang-orang untuk tinggal di rumah dapat meyebabkan pasangan yang telah menderita stress tidak memiliki “pelampiasan” atau tempat untuk kabur dari pasangannya. Bagi mereka yang berada dalam hubungan abusive, hal ini akan membuat hubungan makin rentan dan memperparah keaadan. Jika minum-minum adalah mekanisme koping salah satu partner, keadaan bisa semakin sulit dikontrol.”
Dan hal ini memang sudah terjadi. Salah satu contohnya adalah kasus di mana aktor Jepang Makoto Sakamoto yang ditahan akibat menyerang istri dan mertuanya pada bulan April lalu.
Yang lebih parahnya lagi, dengan tak ada kejelasan kapan wabah ini berakhir, maka situasi kekerasan rumah tangga akibat virus COVID-19 ini pun entah sampai kapan akan berlanjut.
COVID-19 dan Kekerasan Rumah Tangga
Langkah pencegahan COVID-19 menyebabkan banyak pusat konsultasi yang ditutup, membuat para korban kekerasan rumah tangga merasa makin putus asa. Semakin banyaknya pelaku kekerasan yang tinggal di rumah, mereka makin mudah mengontrol pasangan dan anak mereka, menyebabkan melonjaknya konsultasi di pusat kesejahteraan anak. Anak-anak ini tentu tidak memiliki tempat untuk kabur, karena tempat seperti net café harus ditutup akibat COVID-19.
Sementara itu, seorang wanita membagikan pengalamannya.
“Suamiku kini bekerja di rumah dan anak-anakku juga sekolah dari rumah, membuat ia stress dan mulai menyiksaku dan anak-anak secara fisik,” ujar wanita itu.
Korban lain ada yang mengungkapkan betapa sulitnya mendapat dukungan karena takut terinfeksi virus mematikan itu.
“Aku sangat ingin mendiskusikan masalahku bukan hanya lewat telepon, tapi via konseling secara tatap muka. Tapi aku terlalu takut tentang dampak virus corona. Hal itu membuatku takut menaiki kereta dan datang ke konseling.”
Berkomunikasi dengan para korban juga sulit dilakukan saat pasangan atau anggota jeluarga mereka yang melakukan kekerasan ada di rumah. Pusat konsultasi dapat kehilangan kontak dari korrban dan ditakutkan penyiksaan akan semakin parah jika korban tidak berhasil mencari pertolongan, apalagi jika pelaku penyiksaan dapat mengontrol penuh korban.
Namun, meskipun sulit, pemerintah Jepang telah membuat layanan hotline baru bagi para korban kekerasan rumah tangga yang selalu tersedia selama 24 jam, DVSoudan+. Layanan gratis yang telah beroperasi sejak 1 Mei 2020 ini tersedia dalam 10 bahasa, termasuk Thailand, Tagalog, Korea dan Vietnam. Dengan adanya bantuan layanan hotline ini, diharapkan kekerasan dalam rumah tangga akibat pandemi COVID-19 bisa menurun.
Sumber: