Berita meninggalnya bintang reality show Terrace House Hana Kimura dan aktor muda bertalenta Haruma Miura tentunya membuat jagat hiburan Jepang terkejut, apalagi penyebab keduanya meninggal dikabarkan akibat bunuh diri. Hal ini megingatkan kita akan kasus bunuh diri di kalangan anak muda Jepang yang semakin meningkat saja. Lantas, apa yang menyebabkan angka bunuh diri di kalangan anak muda Jepang meningkat? Mari kita telusuri.
Sebenarnya, secara umum angka bunuh diri di Jepang sudah menurun pada tahun 2019. Menurut statistik yang dirilis oleh Agensi Polisi Nasional yang dikutip dari SCMP, pada tahun 2019 ada 20.169 orang yang melakukan bunuh diri di Jepang, menurun sekitar 617 orang dibandingkan dengan tahun 2018 lalu dan berada dalam posisi terendah sejak tahun 1978, saat polisi Jepang pertama kali mengumpulkan informasi terkait kasus bunuh diri.
Sayangnya, hal ini rupanya berbanding terbalik dengan angka bunuh diri di kalangan anak muda Jepang. Selama 2019, ada 659 orang Jepang berusia muda, sekitar 20 tahun ke bawah, memutuskan untuk bunuh diri. Jumlah ini naik 60 orang dari tahun 2018 lalu.
“Sangat sulit untuk minta tolong,” ujar Eriko Kobayashi (42), seorang wanita yang bekerja untuk organisasi non-profit terkait isu kesehatan mental. Sebelum seperti sekarang, Kobayashi pernah berusaha untuk membunuh dirinya sendiri saat berumur 21 tahun.
“Ketika seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka, kemungkinan besar mereka mengalami kekecewaan besar dalam hidupnya. Mungkin mereka di-bully di sekolah dan guru mereka tidak membantu sama sekali. Mungkin mereka ingin agar orang tua mereka bisa membantu, tapi ternyata sama saja seperti orang lain. Ketika kamu mengalami banyak kekecewaan, kamu akan merasa putus asa dan merasa kalau tidak ada seorang pun yang akan menolongmu,” tambahnya.
Ya, bullying dan merasa tak akan ada seorang pun yang akan menolongmu merupakan salah satu alasan bunuh diri paling kuat di kalangan anak muda Jepang, beberapa anak yang bunuh diri dan meninggalkan catatan bunuh diri kerap menuliskan bahwa ia di-bully dan tak tahan lagi.
“Hubungan antar sesama anak muda juga bisa jadi salah satu alasannya. Anak-anak muda lebih tidak stabil dalam berhubungan dengan orang lain, mereka mengalami krisis lebih dalam namun tidak memiliki bantuan dari orang yang lebih tua untuk menghadapi krisis yang mereka rasakan,” ujar Yukio Saito, mantan kepala dari Japanese Association for Suicide Prevention sekaligus CEO dari layanan konseling Inochi no Denwa.
Nyatanya, bullying bukan merupakan satu-satunya yang membuat anak muda Jepang merasa depresi hingga ingin bunuh diri. Tekanan dan tuntutan agar sukses sejak muda dari orang di sekitar mereka juga dapat menjadi pemicu depresi.
“Waktu bebas mereka berkurang dan terlalu banyak kegiatan terencana. Ketika mereka lulus dari SMA, mereka biasanya sudah mulai menyerah. Belum lagi jika ada hutang pinjaman mahasiswa nantinya dan menurunnya angka lowongan kerja. Dam kondisi ini masih belum kondisi paling parah,” ujar Vicki Skorji, direktur layanan konseling asal Tokyo, TELL Lifeline.
Lantas, bagaimana cara untuk menangani dan menolong para anak muda ini agar mereka tidak mencoba untuk bunuh diri?
Ternyata, jawabannya adalah dukungan penuh dari orang di sekitar mereka.
“Hubungan keluarga yang baik bisa menjadi kunci dalam situasi seperti ini. Jika dukungan emosional datang dari keluarga, itu adalah awal yang baik. Namun, jika situasi keluarga tidak memungkinkan, bisa mencari dukungan dari teman, guru, atau organisasi konseling,” ujar Skorji.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ayaka Ishii, direktur organisasi konseling Light Ring. Menurutnya, sangat penting ada orang yang mendukung para anak muda ini dengan cara mendengarkan, memberi nasihat dan menawarkan “bahu untuk menangis” dengan cepat. Memang, hal ini sulit dilakukan, dan Ishii pun menyadarinya.
“Salah satu hal yang sering aku dengar dari orang-orang yang berusaha mendukung ini adalah pertanyaan terkait bagaimana seharusnya mereka merespon jika mendapat pesan dari orang yang ingin bunuh diri di tengah malam,” kata Ishii.
“Komunikasi melalui media sosial sangat cepat dan sebuah jawaban bisa saja datang hanya selang beberapa detik saja. Nah, pikirkan saja bagaimana jika orang itu meninggal ketika kamu tidak membalas? Itulah masalah yang harus kita hadapi kini,” ujar Ishii.
Sumber: