Berita Jepang | Japanesestation.com

Semua mahluk yang hidup di dunia ini tentu tidak ada yang abadi. Meski wajahmu cantik atau tampan, tetap saja saat meninggal nanti, wjah cantikmu akan membusuk dan perlahan hilang, menyisakan tulang belulang. Hal ini dibuktikan dengan keinginan Tachibana no Kachiko, seorang perempuan cantik yang ketika meninggal, mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir jalan untuk mengajarkan orang lain bahwa kecantikan itu tidak abadi. Bagaimana kisah lengkapnya?

Di awal zaman Heian, tepatnya di masa pemerintahan Kaisar Saga, hiduplah sang istri, Permaisuri  Tachibana no Kachiko. Tachibana adalah seorang wanita suci dan penganut agama Buddha taat, ia bahkan membangun sebuah kompleks kuil Buddha dan pusat belajar bernama Danrin-ji. Nah, Danrin-ji inilah yang membuat perempuan cantik ini juga dikenal dengan nama Permaisuri Danrin.

mayat perempuan Jepang japanesestation.com
Tachibana no Kachiko dalam Hyaku Monogatari (hyakumonogatari.com)

Seluruh hidup sang Permaisuri didedikasikan untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran Buddha. Sayangnya, dia memiliki satu masalah besar, Tachibana “dikutuk” dengan wajah yang sangat cantik. Wajahnya benar-benar cantik, karena itu, saat ia mencoba untuk mengajarkan ajaran Buddha dan mengingatkan murid-muridnya tentang hidup yang tidak abadi, ia malah dihujani oleh surat cinta dan tawaran-tawaran kurang pantas dari murid-muridnya yang terpesona. Bahkan, ketika ia pergi ke gunung untuk mempraktikkan asketisme bersama orang-orang suci lainnya, perhatian tak diinginkan pun tak dapat dihindari.

Hal ini membuat Tachibana bingung. Ia tahu kalau kecantikan wajah dan tubuhnya bukan apa-apa, hanya sebuah ilusi semata yang akan hilang suatu saat. Namun, tetap saja semua orang selalu terpesona dengan kecantikannya. Kapan orang-orang ini bisa belajar untuk menghadapi kenyataan dibalik keabadian?

Sesuatu yang mengejutkan terjadi ketika sang Permaisuri meninggal di umurnya yang ke-64 dan surat wasiatnya dibuka. Ia tidak menginginkan pemakaman biasa, melainkan meminta agar tubuhnya dilapisi dengan kain paling sederhana dan dilemparkan ke jalanan. Ketika orang-orang melihat tubuhnya yang indah dikerubungi oleh gagak dan anjing liar serta membusuk dan mulai menampakkan tulang belulang yang kurang sedap dipandang, setidaknya mereka akan mengerti bahwa tidak ada sesuatu yang abadi, sesuatu yang selalu ingin diajarkannya pada murid-muridnya.

mayat wanita Jepang japanesestation.com
Peta Katabira no Tsuji (hyakumonogatari.com)

Dan itulah yang terjadi. Tubuh Permaisuri Tachibana no Kachiko dibiarkan tergeletak begitu saja di jalanan Kyoto yang kotor, membusuk perlahan dan menjadi incaran para gagak dan anjing liar. Tubuhnya hanya mengenakan katabira (kimono putih yang dikenakan oleh mayat), membuat jalan di mana tubuhnya dibuang dijuluki Katabira no Tsuji atau Persimpangan Mayat. Meski nama ini kerap dilupakan dalam sejarah, kamu tetap bisa mengunjungi Katabira no Tsuji lho! Datang saja ke pemberhentian B1/A9 di jalur Arashiyama dan Kitano di Kyoto.

Nah, rupanya usaha terakhir Permaisuri Tachibana no Kachiko tidak sia-sia. Setelah kematiannya, mulai muncul lukisa Buddha baru yang dikenal dengan nama Kyuaizu(九相図; sembilan tanda). Lukisan ini menggambarkan 9 tahap mayat seorang perempuan cantik hingga membusuk dan menyatu dengan tanah. Lukisan ini sangat realistis dan sangat berguna untuk mempelajari bagaimana proses pembusukan mayat.

mayat wanita Jepang japanesestation.com
Salah satu tahap lukisan kyuaizu (hyakumonogatari.com)

Lukisan ini umumnya dibuat berdasarkan wanita cantik dan terkenal dan menggambarkan awal pesona san wanita hingga akhirnya hanya menyisakan daging membusuk dan tulang-belulang. Salah satu subyek terkenal Kyuaizu adalah  wanita bernama Onono Komachi yang tentu akan mengingatkan kita dengan cerita Permaisuri Tachibana.  

Nah, itulah kisah mengenai Tachibana no Kachiko, mayat perempuan Jepang yang dibiarkan tergeletak begitu saja di jalanan Kyoto.