Jika kalian berkunjung ke sebuah kuil Buddha di Jepang, kalian mungkin akan berjumpa dengan sosok ini. Sosok patung penjaga kuil Buddha ini bernama Niō. Patung Niō, yang dapat dilihat di kuil-kuil, secara resmi dikenal sebagai shūkongōshin, juga biasa disebut kongō rikishi. Dengan tubuh bertelanjang dada yang beriak-riak dengan otot, wajah galak, dan mengacungkan senjata, Niō tampak kejam dan mengancam. Uniknya Niō sendiri diartikan sebagai Raja yang Baik Hati.
Sejarah Niō: Penjaga Kuil dengan Wajah Menyeramkan
Pada mulanya terdapat satu dewa yang melindungi Buddha Shakyamuni, kemudian pada titik tertentu ia terpecah menjadi dua bentuk yang berbeda. Bentuk-bentuk ini berdiri di kedua sisi gerbang kuil untuk menandakan bahwa mereka adalah penjaga kuil tempat Buddha diabadikan. Di sana mereka berdiri seperti rintangan, melotot ke bawah dan bertindak sebagai penjaga gerbang yang galak.
Sosok Niō digambarkan memegang senjata kuno di satu tangannya yang dikenal sebagai vajra, yang digunakan untuk melawan kejahatan. Legenda mengatakan bahwa mereka dapat mengendalikan petir. Mereka mengenakan sebuah bawahan seperti rok yang dikenal sebagai mo di sekitar pinggang mereka sambil memperlihatkan tubuh berotot mereka yang kencang dan urat yang terangkat. Selain itu, Niō juga dapat terlihat mengenakan Ten'ne, sebuah jubah panjang seperti pita yang dikenakan oleh makhluk surgawi.
Penjaga yang mulutnya terbuka disebut Agyō dan yang mulutnya tertutup disebut Ungyō. Bunyi a melambangkan bunyi pertama dalam bahasa Sansekerta, sedangkan un melambangkan bunyi terakhir. Konon sepasang makhluk ini mengatur awal dan akhir segala sesuatu, atau dengan kata lain mereka adalah Dewa yang Maha Tahu.
Biasanya Agyō berdiri di sebelah kanan dan Ungyō di sebelah kiri, tetapi di beberapa kuil, seperti Tōdaiji di Nara dan Zenkōji di Nagano, penjaga kongō rikishi berdiri sebaliknya. Niō dipajang di gerbang kuil untuk menjaga dan melindungi kuil dari roh jahat dan setan, bahkan menjaga dari manusia yang suka merampok. Sebagian besar Niō terbuat dari kayu dan biasanya ditempatkan di gerbang rumah mereka sendiri untuk melindungi mereka dari cuaca.
Tidak Menakutkan dalam Kepercayan Lokal
Bentuk patung penjaga Niō saat ini diperkirakan terbentuk pada periode Heian (794–1185) dengan produksi mencapai puncaknya pada periode Kamakura (1185–1333). Menurut sejarawan Jepang Ichisaka Tarō, yang menulis dalam bukunya tahun 2009, gambaran kuat dari patung-patung ini cocok dengan selera klan samurai yang sedang naik daun di Kamakura. Pada saat yang sama, patung-patung ini disukai oleh orang-orang yang menderita akibat serangkaian perang. Mereka lebih menyukai patung Buddha yang tampak realistis dalam pencarian keselamatan mereka.
Sejak zaman Edo (1603–1868) dan seterusnya, pemujaan Niō dengan fisiknya yang kuat dikatakan membawa kesehatan yang baik dan memberikan kaki yang kokoh, sehingga mereka menjadi populer di kalangan masyarakat umum. Terpajang di Gerbang Niōmon di Hyakusaiji di Prefektur Shiga, sepasang sandal jerami raksasa sepanjang tiga meter diyakini sebagai alas kaki Niō. Awalnya memiliki panjang 50 sentimeter, namun seiring dengan sentuhan jamaah untuk berdoa agar kaki mereka kokoh, sandal tersebut perlahan-lahan dibuat yang lebih besar. Saat ini sendal tersebut ditenun setiap 10 tahun sekali dan didedikasikan untuk kuil.
Bagi masyarakat Jepang, Niō bukanlah objek yang menakutan, melainkan patung Budha yang mereka pandang dengan perasaan hangat dan dekat.