Sebuah studi tahun 1950-an oleh seorang psikolog Inggris menciptakan keyakinan di Jepang, yang masih diyakini sebagian orang hingga saat ini, bahwa seorang ibu yang bekerja di luar rumah sebelum anaknya berusia tiga tahun menyebabkan masalah mental dan emosional yang tidak dapat diubah pada anak tersebut. Sekarang disangkal secara luas di seluruh dunia, hal ini kemudian dikenal sebagai mitos tiga tahun pertama seorang anak, atau 三歳児神話 (sansaiji shinwa).
Studi atas nama WHO ini didasarkan pada bukti empiris yang ada yang dikumpulkan dari seluruh Eropa dan AS. Penemuan utamanya adalah bahwa "bayi dan anak kecil harus mengalami hubungan yang hangat, intim, dan berkelanjutan dengan ibunya (atau pengganti ibu permanen) dimana keduanya menemukan rasa puas dan nyaman." Kurangnya hubungan seperti itu, dikatakan dapat menyebabkan konsekuensi yang signifikan dan tidak dapat diubah pada kesehatan mental anak.
Kata-kata dalam studi Bowlby menjelaskan bahwa ikatan anak tidak harus dengan ibunya, tetapi bisa dengan "pengganti ibu permanen", seperti pengasuh yang biasanya dipekerjakan oleh keluarga. Karena temuan studi tersebut menyebar ke seluruh dunia (diterbitkan dalam 14 bahasa), namun, poin-poin penting studi dalam tersebut jatuh ke pinggir jalan. Gagasan menyebar bahwa pemisahan apa pun dari ibu kandung akan menyebabkan deprivasi emosi pada seorang anak, dan oleh karena itu, ibu tidak boleh pergi bekerja. Ini sesuai dengan kemauan politik di banyak negara pada saat itu: pemerintah menginginkan pekerjaan bagi tentara yang kembali dari Perang Dunia II dan mengeluarkan wanita dari dunia kerja.
Media Jepang juga sepenuhnya merangkul dan mempromosikan studi tersebut. NHK membuat program pendidikan yang ditujukan untuk ibu yang bekerja dan memiliki anak, yang kemudian menjadi buku terlaris dengan lebih dari 50 edisi. Pada tahun 1979, seorang dokter anak bernama Shigemori Kyutoku, merilis sebuah buku berjudul "Bogenbyo" (母原病), singkatan dari 母親が原因の病気 (penyakit yang disebabkan oleh ibu.) Buku ini menjadi buku terlaris pada saat itu. Didukung oleh hampir tidak ada dasar ilmiah, teori Kyutoku menyalahkan ibu dalam pengasuhan anak yang buruk sebagai penyebab dari penyakit pada anak-anak yang termasuk asma, dermatitis atopik, ketidakhadiran di sekolah, dan gangguan makan.
Akibatnya, meskipun ibu yang bekerja sekarang menjadi hal yang umum di Jepang, mereka yang bekerja di masa itu harus melawan kritik dan stigma masyarakat. Banyak yang bahkan memilih untuk menurut. Pada tahun 2011, tingkat ibu dengan anak usia di bawah tiga tahun yang bekerja rata-rata di Jepang hanya 29,8%.
Saat ini, secara resmi, pemerintah Jepang telah beranjak dari pola pikir ini. Pada tahun 1998, buku putih dari kementerian kesehatan mengatakan bahwa tidak ada dasar logis untuk mendukung gagasan bahwa para ibu harus tinggal di rumah bersama anak mereka selama tiga tahun pertama mereka. Komitmen kementerian terhadap pernyataan itu tampaknya dipertanyakan, meskipun ketika kemudian dijelaskan kepada parlemen bahwa ia juga tidak melihat dasar untuk menyangkal teori tersebut.
Pada bulan April 2013, sebagai bagian dari strategi pertumbuhan, Perdana Menteri Shinzo Abe meminta perusahaan untuk memperpanjang cuti mengasuh anak dari satu tahun menjadi tiga tahun, menggembar-gemborkan idenya dengan kalimat, "Peluk anak anda semau anda selama tiga tahun, lalu kembali bekerja."
Namun, banyak yang mengkritik gagasan untuk meningkatkan tanggung jawab mengasuh anak hanya kepada wanita dan ibu yang bekerja. Banyak yang meramalkan masa depan di mana perusahaan, dengan asumsi perempuan muda suatu hari nanti akan mengambil cuti tiga tahun, dengan sengaja menempatkan mereka pada pekerjaan yang tidak terlalu penting. Hal ini secara efektif membatasi kesempatan kerja bagi mereka.
Meski perkembangannya lambat, pada tahun 2018, Undang-Undang Reformasi Gaya Kerja Abe (alias hatarakikata kaikaku) diberlakukan untuk membuat tempat kerja di Jepang lebih fleksibel. Dia juga berusaha untuk menyediakan lebih banyak pengasuhan anak, dan, pada 2013, mengumumkan rencana “womenomics” untuk meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja. Akan tetapi, "womenomics" dianggap gagal serta banyak menerima kritikan karena ketidaksiapan budaya sosial maupun budaya kerja untuk membawa lebih banyak peran perempuan dalam perekonomian Jepang.