Berita Jepang | Japanesestation.com

Sebuah tim peneliti Jepang-AS menemukan bahwa stress, kecemasan, dan depresii akibat pandemi virus corona umum ditemukan di kalangan wanita muda. Belum lagi jika ditambah dengan kekerasan rumah tangga dan ketakutan tertular COVID-19 yang dapat memperparah tingkat kecemasan.

Yusuke Tsugawa, seorang asisten profesor kebijakan dan manajemen kesehatan di   University of California, Los Angeles (UCLA) yang merupakan bagian dari tim tersebut pun mengatakan bahwa bukan hanya bantuan keuangan yang diperlukan oleh rakyat, mereka juga membutuhkan bantuan perawatan dan pencegahan kekerasan rumah tangga.

sindrom suami pensiun stress Jepang japanesestation.com
Ilustrasi stress  (doctors-me.com)

Melansir Mainichi, antara Agustus hingga September 2020, para peneliti melakukan sebuah survei dengan responden berumur antara 15 hingga 79 tahun di 47 prefektur Jepang dan menganalisa hasil yang dikumpulkan dari 25.482 responden. Untuk menentukan apakah seorang responden mengalami gangguan kecemasan atau depresi, skala tekanan K6 pun digunakan, di mana enam item inventaris dinilai pada skala lima poin, menggunakan pertanyaan seperti "Apakah Anda merasa tegang?" dan "Apakah Anda merasa putus asa?"

Selain jenis kelamin, usia dan pendapatan, responden juga ditanyai apakah ada orang yang membutuhkan asuhan keperawatan yang menjadi tanggung jawab mereka, apakah mereka pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, apakah mereka tinggal di daerah terdampak status darurat, dan apakah mereka takut akan virus corona atau pernah mengalami diskriminasi karenanya. Tanggapan pun dianalisis setelah disesuaikan dengan distribusi populasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan 1,6 kali lebih berpotensi merasa cemas atau depresi dibandingkan laki-laki. Selain itu, orang yang berusia 29 tahun ke bawah memiliki kemungkinan 2,4 kali lebih besar untuk merasa stress dibandingkan mereka yang berusia antara 45 hingga 59. Sementara dalam hal pendapatan, orang berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi sekitar 1,7 kali lebih berpotensi merasa cemas atau tertekan dibandingkan mereka yang berada di kelompok berpenghasilan menengah.

bunuh diri Jepang anak muda japanesestation.com
Ilustrasi depresi (pakutaso.com)

Di antara para wanita berusia 29 tahun ke bawah, mereka yang bertanggung jawab merawat orang yang membutuhkan perawatan hampir 4 kali lebih berpotensi mengalami gangguan kecemasan atau depresi dibanding mereka yang tidak, sementara mereka yang menjadi korban kekerasan rumah tangga diperkirakan 3 kali lebih berpotensi mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Mereka yang takut tertular virus corona dan mereka yang sempat mengalami diskriminasi yang berhubungan dengan virus corona 1,9 hingga 2,4 kali lebih berpotensi. Baik mereka yang menikah ataupun tidak, hampir tak ada perbedaan di dalamnya.

Angka masyarakat Jepang yang meninggal akibat bunuh diri per 2020 pun meningka sekitar 3,7% dibandingkan tahun lalu menjadi 20919 orang dengan pria berjumlah 13.943 kasus dan wanita berjumlah 6.976 kasus. Namun, menurut laporan pihak terkait pada Januari 2021 lalu,sementara kasus bunuh diri di kalangan pria menurun hingga 1%, jumlah kasus bunuh diri di kalangan wanita meningkat hingga  14,5%. Efek menurunnya ekonomi dianggap sebagai salah satu faktornya. Kendati demikian,  tidak ada analisis rinci tentang penyebab spesifiknya. Untuk mencari tahu penyebab tren terbaru, survei tersebut pun menyoroti kecemasan dan depresi yang dapat menjadi pemicu bunuh diri.

bunuh diri Jepang anak muda japanesestation.com
Ilustrasi depresi (pakutaso.com)

"Faktor risiko di kalangan wanita muda berbeda dari orang-orang pada populasi umum," kata Tsugawa.

“Perempuan muda lebih dipengaruhi oleh beban dalam rumah tangga, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau kehadiran seseorang yang membutuhkan perawatan, atau mengalami diskriminasi terkait dengan virus corona daripada faktor keuangan. Selain dukungan ekonomi, bantuan asuhan keperawatan dan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga sangat diperlukan bagi mereka," tambahnya.