Jepang memang negara yang indah dan menjadi salah satu negara yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan. Bekerja di negara ini juga sering disebut-sebut dapat menghasilkan banyak uang. Meskipun begitu, ternyata Jepang masih memiliki banyak sisi gelap, salah satunya masalah finansial yang dialami banyak gadis muda di Jepang.
Dilansir dari situs Soranews24, menurut laporan dari survey yang dilakukan oleh Money Book, sebuah situs berita finansial, dinyatakan bahwa lebih dari 50 persen gadis muda berumur sekitar 20 tahun di Jepang mengalami krisis finansial. Dalam survey tersebut, disebutkan para gadis ini mengklaim kalau penghasilan mereka rendah dan tidak cukup untuk biaya bulanan. Biaya hidup di Jepang memang tinggi, apalagi jika kamu tinggal di Tokyo. Misalnya, untuk menyewa satu apartemen studio saja bisa menghabiskan 70.000 yen per bulan. Malah, harga ini bisa mencapai 100.000 yen per bulan, tergantung wilayah dan fasilitasnya.
Sementara untuk gaji, kebanyakan karyawan di Jepang hanya dibayar kurang lebih 200.000 yen per bulan, dan ini memang hampir tidak cukup untuk biaya hidup. Meskipun sudah mencoba mengurangi pengeluaran dengan mengurangi porsi untuk hiburan dan pendidikan misalnya, tetap saja kurang untuk tagihan dan kebutuhan pangan. Faktanya, rata-rata gadis muda di Jepang menghabiskan 143.685 yen per bulan hanya untuk membayar taguhan listrik, sewa apartemen, biaya transportasi, taguhan telepon, biaya untuk pensiunan, hutang, makanan, kosmetik, dan hobi, namun tidak untuk hiburan dan makan di luar rumah.
Sementara itu, sekitar 21,2 responden lain mengatakan kalau pengeluaran mereka lebih besar dari pemasukan. Artinya, batas pemasukan mereka kurang dari 0. Dengan keadaan seperti ini, biasanya mengggunakan kartu kredit mereka agar bisa tetap hidup hingga akhir bulan, yang tentunya merupakan kebiasaan buruk. Ada juga responden yang menjawab dengan “Saya sepertinya tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan penuh waktu permanen”, “Saya khawatir tentang perkerjaan saya”, “Lama waktu saya bekerja tidak berepengaruh terhadap biaya hidup saya”. Ada juga responden yang mengatakan kalau mereka sudah merelakan hobi dan hangout dengan teman-teman mereka. Jawaban ini membuktikan kalau banyak gadis muda di Jepang memang terpaksa merelakan banyak hal agar bisa bertahan hidup.
Responden di survey ini memiliki pekerjaan berbeda-beda, sebagian besar (33,5 persen), bekerja di kantor, termasuk pekerjaan pemerintah, penjualan, administrasi kantor, perencanaan, penerimaan, dan entri data. 13,3 persen bekerja di industri jasa (panitera penjualan, operator mesin kasir, dll), dan 9,5 persen bekerja di rumah. Tetapi dari para wanita pekerja itu, 36,6 persen mengatakan bahwa mereka memiliki lebih dari satu pekerjaan, menyiratkan bahwa meskipun memiliki dua pekerjaan, banyak gadis muda berjuang untuk memenuhi kebutuhan.
Menanggapi hal ini, Akirako Yamamoto dari FP Woman, sebuah perusahaan perencanaan keuangan melihat fenomena ini masih terkait dengan kesenjangan gender yang terjadi di perusahaan– perusahaan Jepang. Ketika wanita baru lulus dari perguruan tinggi dan menjadi anggota masyarakat lalu mengambil pekerjaan, mereka mendapatkan pendapatan lebih banyak daripada rekan-rekan mereka yang lebih muda (bukan lulusan universitas), yang umumnya bekerja pekerjaan paruh waktu untuk mendapatkan uang saku saat kuliah. Namun secara Networth (Kekayaan bersih pertahun) tergolong sama karena variasi pengeluarannya tergantung dengan tuntutan pekerjaan dan penampilan yang menunjang.
Hasil survey ini bisa menjadi seuatu peringatan bagi Jepang. Apalagi dengan depopulasi yang kini sedang meningkat. Karena itu, bukan hal aneh jika gadis muda Jepang lebih memilih menikahi laki-laki kaya dibanding kerja sampai mati hanya untuk hidup.