Belakangan ini, wisata vaksin alias bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan vaksin COVID-19 sat ini tengah menjadi tren di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Dan nampaknya, metode ini menarik perhatian beberapa penduduk Jepang. Pasalnya, penyebaran vaksin di negara tersebut memang terbilang lambat.
Salah satu penduduk Jepang tersebut adalah Masayasu Shibayama (36), seorang programmer yang tinggal di Tokyo. Ia berencana untuk tinggal bersama ayahya yang kini berada di New Jersey pada pertengahan Juni mendatang.
Memang, di beberapa negara bagian AS, orang-orang bisa mendapatkan vaksin meski tak memiliki status kependudukan. Shibayama pun memutuskan untuk mendapatkan vaksin di luar negeri setelah mengetahui bahwa mertuanya di Yokohama tak akan mendapatkan vaksin hingga Juli mendatang, dan tak ada kepastian kapankah ia akan mendapat vaksinnya.
"Saya merasa jadwal vaksinasi tak jelas dan jika saya terus di Jepang, saya tak tahu kapan saya mendapatkannya,” ujarnya.
Melansir Mainichi, menurut "Our World in Data," sebuah situs statistik yang dioperasikan oleh Oxford University, 51,2% penduduk di Amerika Serikat telah menerima setidaknya satu suntikan vaksin COVID-19 per 7 Juni tahun ini. Proporsi penduduk yang telah divaksin juga telah mencapai 50% di Inggris, Mongolia, Chili, dan Hungaria, serta lebih dari 60% di Israel dan Kanada. Sementara di Jepang, baru 10,9% saja.
Kepergian Shibayama ke AS tak akan didampingi sang istri karena alasan pekerjaan dan putrinya yang masih berusia 18 bulan, terlalu muda untuk mendapatkan vaksin. Kendati demikian, keluarganya, termasuk mertuanya, memintanya untuk pergi.
"Saya memiliki risiko kesehatan yang dapat mengakibatkan gejala berat COVID-19 jika tertular,” kata Shibayama.
"Saya bekerja dari rumah, jadi kesempatan tertular memang rendah, namun putri saya pergi ke day care dan bertemu dengan orang banyak, jadi saya tak bisa mengatakan bahwa kami aman. Jika saya tertular dengan gejala parah dan meninggal, istri dan putri saya akan kesulitan. Bahkan mertua saya meminta saya untuk segera mendapatkan vaksin.”
Shibayama berencana untuk terbang dari Bandara Haneda Tokyo menuju Bandara John F. Kennedy di New York, lalu menggunakan sebuah layanan taksi untuk menuju rumah ayahnya di New Jersey, serta menggunakan mil udara untuk menutupi biaya perjalanannya. Ia mengumpulkan sekitar 100.000 yen (sekitar 12 juta rupiah) untuk biaya perjalanan dari bandara hingga biaya hidup. Kota New York, yang merupakan tetangga New Jersey juga mulai menyediakan vaksin Johnson & Johnson yang hanya membutuhkan satu kali injeksi bagi para turis, jadi mereka dapat menyelesaikan prosesnya sekitar 2 minggu saja.
Lantas, apa saja syaratnya?
Saat memasuki AS, Shibayama membutuhkan sebuah sertifikat yang menyatakan bahwa ia negative COVID-19. Ia berencana untuk membeli sebuah testing kit PCR di Bandara Haneda dan melakukan tes secara on the spot. Saat kembali ke Jepang, Kementerian Kesehatan meminta penduduknya karantina mandiri di rumah atau fasilitas lainnya selama 14 hari.
Seluruh pekerjaan Shibayama dilakukan secara remote, jadi ia dapat bekerja di AS.
"Saya sangat beruntung bisa bekerja di mana saja dan biaya tempat tinggal pun tak terlalu mahal,” ujarnya.
“Kendati demikian, istri saya akan repot mengurus putri kami sembari bekerja, jadi kami meminta orang tuanya untuk membantu. Dan saat saya melakukan karantina setelah kembali ke Jepang, saya harus meminta istri saya untuk mengantar dan menjemput putri kami dari day care," tambahnya.
Menurut situs Kota New York, vaksin yang dibagikan gratis meski membutuhkan reservasi agar bisa memasuki situs vaksinasi. Saat mendapatkan injeksi, orang-orang harus menunjukkan kartu identifikasi dan mengisi sebuah formulir dengan alamat dan etnis mereka.
Sementara itu, terkait isu penggunaan vaksin untuk merevitalisasi ekonomi, Hiroyuki Kamiyama, seorang konsultan senior di Nomura Research Institute yang familiar dengan industry pariwisata berkomentar bahwa yang membuat industry pariwisata menarik adalah cakupan keuntungan ekonominya yang luas.
“Uang mengalir ke berbagai industri seperti akomodasi, outlet retail, dan sektor transportasi. Hal ini menolong tersedianya lapangan kerja. Dan dengan masuknya turis, suatu area bisa mempromosikan tingkat vaksinasi tinggi di area bersangkutan. Artinya, “keamanan” bagi orang-orang yang berdomisili di area lain,” kata Kamiyama.
Di Kota New York sendiri, total 45% penduduk telah mendapatkan vaksin COVID-19 penuh pada awal Juni, sementara 52% telah mendapatkan setidaknya satu injeksi.
"Tingkat inokulasi penduduknya relatif tinggi, dan langkah penanganan infeksi terus maju. Jadi, peraturan wali kota New York dalam mevaksinasi turis dapat diterima dengan baik,” jelas Kamiyama.
Namun jika mempertanyakan mengapa pemerintah lokal dan nasional tidak mengundang orang asing secara aktif, nyatanya ada isu etis.
"Pada bulan Maret lalu, kita mendapati orang-orang kaya dari Meksiko dan beberapa tempat lain di Amerika Selatan memasuki New York demi mendapat vaksin. Mereka memang tak melakukan hal illegal, namun kritik bermunculan di media social dan orang-orang pun bertanya, ‘Bukankah manusia itu sama?’” ungkap Kamiyama.
Di Jepang, penyebaran vaksin memang serasa jalan di tempat hingga kini. Namun, jika hal ini terus membuat makin banyak penduduknya yang tak puas, akankah Jepang berubah?