Berita Jepang | Japanesestation.com

Kendala Bahasa

Untuk memastikan bahwa informasi sampai ke telinga para penduduk asing, pemerintah mengatakan bahwa mereka tengah berupaya untuk menyajikan perkembangan terbaru dalam berbagai bahasa di situs dan media sosial mereka dengan cara bekerja sama dengan para pemimpin komunitas dan melengkapi rumah sakit dengan layanan translasi yang lebih baik.

Memang, waktu panjang yang dibutuhkan pemerintah untuk menyebarkan informasi resmi pada penduduk asing membuat mereka yang memiliki gejala mirip COVID-19 harus meminta bantuan pertama pada pemimpin komunitas, bukan petugas medis.

COVID-19 Jepang japanesestation.com
Bhupal Man Shrestha, pendiri Everest International School Japan. (japantimes.co.jp)

“Saat mereka sakit, mereka akan pergi ke pemimpin komunitas mereka terlebih dahulu, bukan langsung berkonsultasi dengan pihak berwenang,” ujar Bhupal Man Shrestha, seorang penduduk asal Nepal yang juga merupakan pendiri Everest International School Japan, sekolah internasional pertama Jepang yang didirikan untuk anak-anak asal Nepal.

“Meski mereka diperintahkan untuk menghubungi pusat kesehatan, mereka menolak karena khawatir akan masalah bahasa, belum lagi jika mereka menunggu seseorang yang mereka kenal untuk menemani mereka,” tambahnya.

Hingga kini, layanan translasi multibahasa di pusat kesehatan masyarakat masih menjadi masalah.

Meski Tokyo telah membuat sebuah sistem yang disebut dengan Tokyo Coronavirus Support Center for Foreign Residents (TOCOS) yang dapat menghubungkan penduduk asing pada pusat kesehatan melalui panggilan three-party dalam 14 bahasa berbeda, masih banyak fasilitas kesehatan yang tak sanggup menyediakan dukungan tersebut. 

“Pentingnya menghindari Three C dan informasi dasar lain seharusnya sudah menjadi pengetahuan umum. Yang lebih dibutuhkan adalah penjelasan praktikal terkait bagaimana sistem medis Jepang beroperasi dan proses apa yang harus dilalui jika kita terinfeksi virus,” ujar Hideo Maeda, kepala salah satu fasilitas kesehatan di Distrik Kita.  

Kesulitan Finansial

Kesulitan keuangan juga menjadi faktor lain yang membuat akses penduduk asing ke fasilitas medis terganggu dan membuat risiko infeksi meningkat. Banyak dari mereka yang harus menunggu untuk mendapatkan asuransi kesehatan masyarakat, seperti mereka yang memiliki status pembebasan sementara atau tengah menunggu persetujuan untuk status pengungsi. Mereka yang telah lama menunggu akhirnya memutuskan untuk menyerah karena khawatir bahwa harus membayar biaya perawatan yang mahal. Dan saat “menunggu” dan “menyerah” inilah kemungkinan besar virus tersebut sudah menyebar di antara keluarga mereka.

“Banyak penduduk asing yang mencoba meredakan gejala dengan obat komersil yang mereka bawa dari rumah hingga mereka merasa lebih baik. Mereka juga sulit untuk pergi ke klinik dan mendapatkan obat seperti orang Jepang,” ujar Maeda said.

“Bahkan, meski mereka khawatir tertular virus corona, mereka tetap tak ingin mengunjungi institusi medis karena khawatir akan biaya,” tambahnya.

COVID-19 Jepang japanesestation.com
Pemerintah Tokyo dan tim peneliti tengah membahas situasi COVID-19 pada 12 November (japantimes.co.jp)

Meski kini mayoritas tes polymerase chain reaction (PCR) telah ditanggung oleh pemerintah, tetap masih banyak dari mereka yang tak ingin melakukannya karena adanya pikiran bahwa tes tersebut butuh “konsultasi dengan dokter” di mana biasanya mereka diwajibkan harus membayar biaya sebesar 800 yen,” tambahnya.

Meskipun begitu, bukan berarti bahwa penduduk asing memiliki risiko tertular COVID-19 lebih tinggi dibanding orang Jepang.

Maeda mengatakan bahwa situasi terkini merupakan suatu realita pahit yang memperlihatkan bagaimana suatu virus dapat menyebar lebih cepat, baik itu di kalangan orang asing maupun orang Jepang.

“Risiko bahwa mereka sulit menerima akses ke institusi medis bukan karena mereka orang asing, bamun karena mereka mengalami kesulitan ekonomi yang juga bisa dialami oleh orang Jepang,” ujarnya.