Meski cukup banyak warga Jepang yang tak ambil pusing terkait marga alias nama keluarga yang harus sama dengan pasangan jika menikah, Jepang rupanya mewajibkan agar setiap pasangan memiliki marga yang sama. Nah, apa sih yang jadi penyebabnya? Sejak kapan peraturan ini berlaku? Mari kita telusuri!
Sebelum mencari tahu sejarah awal dan mengapa setiap pasangan yang telah menikah di Jepang harus memiliki marga yang sama, mari kita intip pasal yang mewajibkannya!
Jadi, peraturan yang mewajibkan bahwa pasangan suami istri di Jepang harus memiliki nama keluarga yang sama tercatat dalam Pasal 750 KUH Perdata Jepang. Untuk menikah secara legal, salah satunya harus mengubah marga mereka.
Selama ini, mungkin kita mengira kalau istri lah yang harus mengubah marga mereka kan? Ternyata tidak wajib lho, bisa saja suami yang mengganti nama keluarga mereka dan menggunakan marga istrinya (meski jarang).
Sekarang mari kita tengok sejarahnya. Jadi, sebenarnya peraturan bahwa pasangan suami-istri harus memiliki marga yang sama ini tidaklah setua itu. Bahkan, baru pada awal era Meiji lah masyarakat umum dapat menggunakan marga untuk meningkatkan sistem registrasi keluarga untuk mempermudah pengumpulan pajak dan mengatur pendaftaran militer. Awalnya, wanita tetap menggunakan marga mereka, namun pada 1896, hukum perdata mulai mengatur bahwa pasangan yang telah menikah wajib memiliki nama keluarga atau marga yang sama. Sejak saat itulah peraturan memiliki marga sama pun dimulai.
Namun, seiring dengan semakin berkembangnya peran wanita dalam dunia kerja dan mulai menjadi partner yang sederajat dengan pria, permintaan untuk memilih marga masing-masing meningkat. Bahkan, melansir Kyodo News, sempat berdesir kabar bahwa pemerintah berencana untuk membuat pasangan yang menikah memakai nama keluarga mereka masing-masing.
Kendati demikian, sepertinya harapan itu harus pupus. Pasalnya, partai yang kini tengah berkuasa di Jepang, Liberal Democratic Party (LDP) menekan pemerintah untuk menarik kembali proposal yang bermaksud untuk mengubah aturan yang mewajibkan suami istri untuk memiliki marga yang sama, sebuah proposal yang ada dalam draf Visi Dasar untuk Merumuskan Rencana Dasar Kelima untuk Kesetaraan Gender.
Sebelum proposal kelima ini hadir, empat proposal sebelumnya selalu menuliskan bahwa pemerintah bermaksud “membuang” peraturan lama tersebut. Draf tersebut juga mengatakan bahwa pemerintah akan “segera memproses langkah-langkah yang diperlukan (untuk mengubahnya),” satu langkah lebih maju dibanding frasa “akan diproses dengan pertimbangan.”
Sayangnya, hal ini membuat sekelompok anggota LDP konservatif yang masih berpikiriran tradisional geram. Mereka menekan agar Staf Kabinet mengganti frasa tersebut dengan “akan diproses dengan pertimbangan lebih lanjut.” Bahkan, mereka membuat kata “fufu besshi” (marga berbeda bagi pasangan suami-istri) dihilangkan dari draf.
Hal yang dilakukan para anggota LDP ini membuat masyarakat memandang para anggota LDP tak memiliki kesadaran akan hak asasi manusia.
Kini, Jepang menjadi satu-satunya negara yang memiliki peraturan mewajibkan pasangan untuk memiliki marga yang sama. Dan dari seluruh pasangan di Jepang, 96% menggunakan marga suami mereka.
Padahal, dalam survei Kabinet pada tahun 2017, 42,5% responden menyatakan tidak menentang revisi undang-undang terkait hal ini, lebih banyak dengan mereka yang menganggap tidak perlu adanya perubahan dengan jumlah hanya 29,3% saja, menunjukkan bahwa langkah yang diambil LDP semakin tidak sejalan dengan sentimen publik.
Lalu, apa alasan LDP?
Jadi, mereka berpendapat bahwa penerapan aturan baru yang diusulkan tersebut akan merusak ikatan keluarga dan menyebabkan efek berbahaya bagi banyak anak. Kendati demikian, di Jepang cukup banyak keluarga di mana para orang tuanya tidak menikah secara resmi dan menggunakan nama keluarga yang berbeda, namun, hubungan mereka dan anak-anaknya tetap baik. Nampaknya, argumen mereka tidak sesuai kenyataan ya?
Ada juga yang mengusulkan agar orang yang telah mengubah nama keluarga mereka untuk kembali menggunakan nama asli mereka setelah menikah. Namun, ada banyak situasi yang mengharuskan penggunaan nama yang terdaftar secara resmi, seperti saat menerima sertifikasi nasional. Tentu ide tersebut bukanlah alternatif yang baik karena sulitnya menggunakan dua nama keluarga yang berbeda.
Nah, bagaimana dengan tanggapan Perdana Menteri Yoshihide Suga sendiri terkait hal ini?
Jawabannya, masih belum jelas. Memang, sebelumnya Suga dan Menteri Kehakiman Yoko Kamikawa telah membuat pernyataan yang menunjukkan dukungan mereka terhadap proposal untuk mengubah aturan nama. Namun, kini keduanya seperti diam di tengah-tengah perdebatan.
"Saya rasa saya bertanggung jawab atas apa yang saya katakan sebagai politisi," hanya itulah jawaban yang dilontarkan Suga saat ditanya terkait masalah ini pada sidang Panitia Anggaran DPR Tinggi pada November lalu.
Kira-kira, apa yang akan dilakukan Suga nanti? Apakah ia akan menyetujui perubahan peraturan kewajiban persamaan marga ini? Atau malah menolaknya?
Sumber: