Jepang memang dikenal sebagai negara yang hobi “mengadopsi” sesuatu, misalnya saja huruf kanji, teknik pembuatan pedang, teknik pengobatan shiatsu atau anma, kain tenunan dan bangunan yang terinspirasi dari Cina. Nah selain dari Cina, Jepang juga mengadopsi budaya pernikahan ala barat, seperti adanya gaun pengantin, pertukaran cincin, dan berbulan madu. Namun, tidak seperti orang barat yang terkadang masih memakai marga keluarga asalnya saat menikah, Jepang berbeda. Orang Jepang (biasanya wanita) tidak diperbolehkan mempertahankan marga asalnya setelah resmi menikah. Nah, sebelum melanjutkan pembahasan, JS mau berbagi info sedikit nih. Meski di Jepang mayoritas pergantian marga setelah menikah dilakukan oleh wanita, ternyata hukum Jepang hanya mewajibkan agar kedua pasangan memiliki marga yang sama. Jadi, suami juga bisa menggunakan marga istri (meski jarang)!
Nah, tapi meski undang-undang Jepang berkata begitu, bagaimana sih tanggapan orang Jepang dalam pergantian marga ini? Untuk mendapatkan jawabannya, seorang professor dan ahli hukum keluarga Universitas Waseda, Masayuki Tanamura, dan grup aktivis Selective Married Couple Surname National Appeal Action pun mengadakan sebuah survei online terkait hal tersebut. Hasilnya, dari 7.0000 responden berusia 20 hingga 59 tahun, 71% menjawabnya dengan, “Aku tidak keberatan jika pasangan lain yang telah menikah mengganti atau tidak mengganti marga mereka.”
Kata “pasangan lain yang telah menikah” sendiri menunjukkan bahwa tidak semua responden menginginkan adanya 2 marga berbeda dalam keluarganya sendiri, meskipun begitu, kalimat tersebut menyiratkan dukungan bagi orang-orang yang memilih untuk mempertahankan marga mereka. Di sisi lain, hanya 14% responden yang menjawab, “Aku ingin aku dan pasanganku memakai marga yang sama, dan pasangan lain pun seharusnya melakukannya,” menunjukkan bahwa 16% sisa responden tidak ambil pusing terhadap pasangan yang memiliki marga berbeda.
Jika disortir per prefektur, dukungan terkuat pada marga berbeda ditemukan di Okinawa, di mana 77% responden membuka opsi bebas pada pasangan yang telah menikah, diikuti oleh Aomori dan Wakayama (seri di 75%). Faktanya, mayoritas responden di setiap prefektur mendukung pasangan untuk memiliki marga berbeda, jumlah terkecilnya saja hanya 60& di Prefektur Ehime.
Dan perlu diperhatikan juga, di antara wanita pekerja Jepang yang menikah dan mengganti marga mereka dengan marga suaminya, tak jarang kok para wanita ini tetap menggunakan nama gadisnya saat tengah bekerja di kantor. Pasalnya, kultur kerja Jepang membuat kolega memanggil satu sama lain dengan marga mereka, dan wanita yang memilih untuk tetap menggunakan nama gadisnya saat bekerja meski telah menikah tidak mendapat kritik atau teguran terkait kewajiban mereka untuk mulai menggunakan arga baru mereka dalam pertemuan dan email.
Survei tersebut pun menyisakan 94 orang responden yang mengatakan bahwa mereka batal atau menunda pernikahan karena tak ingin mengganti marga mereka. Jadi, mungkin saja 94 orang ini sebenarnya berharap agar peraturan “mengekang” ini bisa diubah kan?