Sebagian masyarakat Jepang boleh jadi tak peduli atau menginginkan agar nama keluarga (marga) mereka tak berubah setelah menikah, namun, keinginan tak mengubah nama tersebut harus pupus di hadapan pemerintah. Pasalnya, kini Mahkamah Agung Jepang memutuskan secara hukum bahwa pasangan suami istri harus memiliki marga yang sama.
Kasus terkait marga ini sebenarnya telah sejak beberapa tahun lalu, saat 3 pasang suami istri yang tinggal di Tokyo mengirimkan aplikasi pendaftaran pernikahan mereka dengan keinginan untuk mempertahankan seluruh nama keluarga mereka setelah menikah. Sayangnya, aplikasi mereka ditolak karena hukum Jepang mewajibkan pasangan suami istri memiliki marga yang sama dalam registrasi (kartu) keluarga mereka atau koseki dalam Bahasa Jepang.
Para pasangan itu mengatakan bahwa peraturan tersebut merupakan sebuah bentuk pelanggaran undang-undang Jepang dengan mengutip Pasal 14 yang menjamin adanya kesetaraan antara pria dan wanita di mata hukum serta Pasal 24 yang menyatakan bahwa hukum yang terkait dengan pernikahan “didasarkan pada martabat individu dan persamaan hakiki dari kedua jenis kelamin.” Secara kolektif, pasangan tersebut mengajukan gugatan yang meminta agar aplikasi pernikahan mereka diterima pada tahun 2018, yang sebelumnya telah ditolak di pengadilan keluarga dan kemudian ditolak sekali lagi di pengadilan tinggi.
Banding berikutnya membawa gugatan itu sampai ke Mahkamah Agung Jepang, dengan semua 15 hakim memberikan keputusan mereka pada hari Rabu (23/6) lalu. Sebelas orang anggota, termasuk Ketua Mahkamah Agung Naoto Otani, memutuskan bahwa persyaratan terkait pasangan suami istri dengan nama keluarga yang sama tidak melanggar konstitusi, sementara empat sisanya mengeluarkan pendapat berbeda. Dari dua hakim wanita Mahkamah Agung, Kazumi Okamura, berpihak pada mayoritas yang menyatakan persayaratan tersebut konstitusional, sementara yang lain, Yuko Miyazaki, menganggapnya tidak konstitusional.
Putusan itu mencerminkan peraturan pada enam tahun lalu, di mana Mahkamah Agung menjatuhkan gugatan terpisah yang mengklaim bahwa persyaratan nama keluarga yang sama tidak konstitusional.
“Bahkan dengan mempertimbangkan perubahan dalam masyarakat dan opini publik sejak keputusan enam tahun lalu, saya tidak percaya bahwa ada sesuatu yang menjamin sekarang menyatakan persyaratan inkonstitusional,” kata Otani.
“Meski kami telah mempertimbangkan perubahan opini masyarakat sejak 6 tahun lalu, saya masih tak percaya bahwa kini ada yang mendeklarasikan bahwa persayaratan itu inkonstitusional,” kata Otani.
Tak hanya itu, masih ada satu lagi rintangan yang menjelaskan bahwa peraturan marga yang sama bukan pelanggaran kesetaraan. Ada Pasal 750 dari KUHPerdata yang menyatakan, “dalam pernikahan, kedua pasangan harus mendaftarkan salah satu dari marga suami atau istri,” dan Pasal 74 Undang-Undang Pemcatatan Keluarga yang menyebutkan bahwa “pasangan yang menikah harus menyertakan marga mereka dalam aplikasi.” Kendati demikian, kedua pasal tersebut tak menyebutkan bahwa istri harus memakai marga suami, hanya menyebutkan bahwa kedua belah pihak harus memiliki nama belakang yang sama, yang artinya ketentuan itu berlaku bagi pria maupun wanita. Memang, biasanya istri lah yang mengambil marga suaminya, namun tak jarang pria Jepang mengambil marga istrinya, apalagi jika istrinya tak memiliki saudara yang membawa marga keluarganya untuk generasi selanjutnya.
Namun, meski Mahkamah Agung menjatuhkan putusan itu, bukan berarti bahwa pasangan suami istri di Jepang tak akan pernah diperbolehkan untuk memiliki marga berbeda. Seperti dalam komentar Otani di atas, ada perkembangan dalam konsep penerimaan marga berbeda di kalangan masyarakat Jepang. Kendati demikian, sebagai badan yudisial, peran Mahkamah Agung hanyalah untuk memutuskan apakah suatu undang-undang diperbolehkan atau tidak menurut konstitusi, bukan untuk memutuskan undang-undang berpotensi secara konstitusional mana yang harus ada.
“Pertanyaan apakah sistem [nama keluarga] saat ini konstitusional atau tidak adalah masalah terpisah dari apakah itu paling tepat atau tidak,” kata Otani, menambahkan bahwa membahas dan mengimplementasikan potensi revisi undang-undang adalah peran legislator dalam diet.