Mungkin pembaca setia JS sudah tahu kan betapa suramnya hidup salaryman di Jepang? Nah, bagaimana dengan para wanita office lady (OL) yang bekerja di perusahaan-perusahaan Jepang? Apakah mereka mengalami hal yang sama? Mari kita lihat fakta-fakta tentang office lady di Jepang ini!
Wanita Jepang di Dunia Kerja
Seiring dengan menurun drastisnya populasi dan angka kelahiran, tenaga kerja Jepang pun ikut menurun. Selain itu, meski dikenal sebagai negara maju dengan tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi yang tinggi, negara ini merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat perempuan pekerja terendah di antara negara maju lain.
Mayoritas office lady atau OL adalah para wanita muda yang berada di tengah dunia pekerjaan yang didominasi oleh pria dan langsung bekerja setelah lulus dari SMA atau sekolah wanita. Banyak dari mereka yang berharap mendapatkan suami setelah beberapa tahun bekerja lalu mengundurkan diri. Mereka juga tidak diharapkan untuk kembali bekerja setelah mereka memiliki anak. Hal ini juga sempat disinggung di artikel JS sebelumnya, Sisi Gelap Para Ibu yang Bekerja di Jepang.
Seksisme di Perusahaan Jepang
Memang bukan hanya Jepang saja tempat di mana terkadang para wanita dibayar lebih rendah meski mengerjakan pekerjaan yang sama dengan karyawan pria. Namun, seorang wanita di perusahaan Jepang menghadapi jauh lebih banyak tantangan dibandingkan wanita pekerja di negara lain. Para office lady diharapkan dapat memenuhi “pekerjaan wanita” seperti membuat teh dan menyajikannya, can melakukan peran pendukung lain untuk karyawan pria. Hal ini membuat wanita sulit mendapatkan respect yang dibutuhkannya dalam menjajal karir.
Karir Tetap “Jalan di Tempat”
Hanya ada sedikit posisi yang dapat diisi oleh wanita di perusahaan Jepang, Mayoritas OL biasanya melakukan tugas sekretarial atau tugas rendah hingga mereka menikah dan mengundurkan diri. Mereka juga mungkin hanya bisa melihat karyawan pria mendapatkan promosi, sementara meski mereka telah berusaha sekuat tenaga, karir mereka tetap “jalan di tempat.”
Tekanan Sosial
Norma sosial seakan mengatur perjalanan hidup seorang wanita. Mereka diharapkan telah menikah di usia 30 tahun, lalu berhenti dari pekerjaannya untuk mengurus rumah, suami, dan anak-anak mereka. Mereka yang tidak menganut jalan ini terkadang merasa tertekan karena orang di sekitarnya yang sering “menyerang” dengan kata-kata kurang mengenakkan. Selain itu, banyak wanita yang tidak kembali ke bekerja setalah melahirkan anak pertamanya. Dan jika seorang ibu benar-benar harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, biasanya hanya melakukan kerja part time di mana upah yang mereka terima jauh lebih rendah dari pekerjaan tetap mereka sebelumnya.
Pelecehan di Tempat Kerja
Pelecehan di tempat kerja terhadap para OL Jepang itu nyata adanya. Para office lady di Jepang harus menghadapi “norma wanita” dan tujuan pelecehan di tempat kerja ini adalah untuk memastikan bahwa norma itu dipatuhi. Misalnya, jika ia lupa menggunakan makeup atau memotong rambut, ia akan mendapat komentar sinis. Jika ia membela diri atas perlakuan yang tak adil, atasannya mungkin akan membuatnya mendadak kerja lembur, menolak permintaan cuti, dan memastikan ia selalu menjadi yang “diganggu” untuk membuatkan dan menyajikan teh saat rapat dan hal-hal lain yang membuat keadaan makin sulit bagi para OL.
Ada juga beberapa OL yang memutuskan untuk tetap bekerja meski sedang hamiil. Hal ini akan membuatnya menjadi korban dari “maternal harassment,” dan atasan serta koleganya akan menekannya agar mengundurkan diri. Sulit ya?
Masa Depan Office Lady di Jepang
Pada tahun 1980-an, office lady di Jepang adalah hal umum. Namun sat ini, angka tersebut berubah. Mayoritas wanita memutuskan untuk menunda pernikahan untuk belajar di universitas dan sekolah-sekolah lain.
Untuk meningkatkan produktifitas wanita di bidang bisnis di politik, Perdana Menteri Shinzo Abe juga berjanji untuk meningkarkan angka wanita yang terlibat dalam pemerintahan menjadi setidaknya 30% di tahun 2020 ini. Hal tersebut didukung dengan beberapa rencana lain, seperti meningkatkan pengeluaran untuk daycare agar para ibu bisa kembali bekerja dengan mudah. Namun, program ini tidak efektif, apalagi dengan struktur sosial yang sangat kuat di Jepang.
Setelah melihat penjelasan di atas, ternyata kehidupan office lady di Jepang sama gelapnya ya dengan para salaryman? Bagaimana menurutmu?