Prasangka dan perlakuan buruk Jepang terhadap Korea di masa kini serta tindak lanjutnya
Masih banyak rasisme, diskriminasi dan prasangka buruk Jepang terhadap Korea di masa kini. Beberapa sempat ditindak lanjuti, namun tetap saja diskriminasi masih merarela. Contohnya peristiwa berikut ini.
Pada tahun 2014, Pengadilan Tinggi Osaka menguatkan putusan lower-court terhadap Zaitokukai, sebuah kelompok sayap kanan yang diperintahkan untuk membayar 12,26 juta yen sebagai ganti rugi atas ujaran kebencian yang menargetkan sekolah untuk etnis Korea di Kyoto. Setelah keputusan Pengadilan Tinggi, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan pemerintah Jepang harus melarang ujaran kebencian, terutama yang berasal dari diskriminasi rasial, apalagi saat itu anti-Korea telah tersebar di seluruh Jepang, seperti di distrik Tsuruhashi di Osaka yang menjadi wilayah tempat tinggal orang Korea, dan Shin-Okubo di Tokyo.
Pada Mei 2016, Jepang mengesahkan Undang-Undang Ujaran Kebencian untuk mengekang diskriminasi rasial. Meski begitu, retorika anti-Korea masih marak, terutama setelah maraknya perang dagang antara Korea Selatan dan Jepang.
Para ekstremis di Jepang pun kerap menyebarkan hate speech pada orang Korea dengan mengungkit kejahatan brutal Jepang pada masa perang: wanita penghibur militer. Mereka menghina para penyintas yang dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang pada zaman perang dengan kata “pelacur.”
DHC, sebuah produk kosemetik Jepang pun ikut-ikutan mengejek pemboikotan produk Jepang di Korea Selatan di channel internetnya, DHC Television. Komentator sayap kanan di channel tersebut pun menyebut para penduduk Korea dengan kata joshenjing yang merendahkan. Belum lagi, mereka juga merusak sejarah dengan mengklaim bahwa Korea tidak mampu membuat sistem tulis-menulis, jadi Jepang membuat huruf Hangul bagi mereka. Hingga DHC Korea meminta maaf pada penduduk Korea Selatan pun, perusahaan utamanya di Jepang tetap tidak merasa bersalah.
Surat kabar pun menyebarkan kebencian pada Korea dengan menerbitkan artikel sensasional yang membuat Korea Selatan terkesan jahat dan menyebut negara itu sebagai “tetangga yang menyebalkan.” Namun, berita tersebut membuat beberapa kelompok aktivis Jepang meminta agar media mencabut berita tersebut karena berita tersebut melanggar hak asasi etnis Korea.
Sementara tu pada tahun 2019, pemerintah Distrik Sumida bertemu dengan kelompok konservatif Jepang, salah satunya "Kanto Daishinsai no Shinjitsu wo Tsutaeru Kai, Soyokaze" (Soyokaze, sebuah asosiasi yang menyebarkan “kebenaran” di balik peristiwa Gempa Besar Kanto). Dan pada bulan Agustus tahun ini, Pemerintah Metropolitan Tokyo menganggap bahwa pernyataan dari 3 orang yang terkait kelompok tersebut merupakan sebuah hate speech yang melanggar hak asasi manusia.
Meski berbagai usaha telah dilakukan, warga Korea di Jepang masih dikucilkan. Kira-kira, kapan ya ini akan berakhir?
Sumber: