Oktober lalu, komunitas etnis Korea Utara di Jepang atau yang lebih dikenal dengan Chongryon, baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 64. Sayangnya, di ulang tahunnya yang ke-64 ini, Chongryon masih kesulitan hidup di Jepang. Mengapa?
Chongryon sendiri bisa dibilang merupakan kelompok masyarakat terbesar di Jepang dengan anggota terbesar, lebih dari 500.000 anggota pada awal terbentuknya.
Sayangnya, komunitas besar ini terjebak kontroversi baik di Jepang maupun di Korea Selatan. Jepang sulit melegitimasi kelangsungan komunitas ini akibat Jepang serentetan penculikan warga Jepang oleh agen Korea Utara. Chongryon juga sering menjadi media untuk spionase dan propaganda Korea Utara, yang berperan dalam persaingan Korea Selatan dengan Korea Utara. Tak hanya itu, karena kelompok pro-Korea Selatan, Mindan, jauh lebih kecil daripada Chongryon, membuatnya berpengaruh lebih tinggi dalam mempertahankan pengaruh komunitas Korea di Jepang.
Hingga kini, Chongryon tetap berada di bawah pengaruh Korea Utara meski pengaruh Chongryon dalam masyarakat Korea di Jepang memburuk.
Pada Februari 2016, Badan Intelijen Keamanan Publik Jepang secara resmi mengumumkan perkiraan jumlah anggota Chongryon untuk pertama kalinya dalam sejarah. Menurut perkiraan resmi tersebut, kini hanya ada 70.000 anggota Chongryon yang tersisa. Hanya tinggal seperenam dari jumlah aslinya.
Namun, jumlah ini rupanya tak kunjung membuat orang Jepang tenang, Warga negara Jepang yang keluarganya diculik masih menentang adanya orang Korea Utara di sekitar mereka dan melakukan demo.
Tes misil yang dilakukan Korea Utara pun menambah masalah karena beberapa misil tersebut memasuki Jepang, membuat kepercayaan Jepang akan Korea Utara makin berkurang. Tentu, kenyataan bahwa agenda nuklir Pyongyang yang dimulai tahun 1990-an membuat Korea Utara menjadi “musuh” Jepang. Namun, meningkatnya ketegangan baru-baru ini dan uji coba rudal makin meningkatkan amarah Jepang. Di bawah tekanan sosial tersebut, tujuan dan alasan keberadaan Chongryon makin dipertanyakan. Diskriminasi terhadap Chongryon pun makin menjadi-jadi.
Dan diskriminasi itu ikut menyebar ke institusi pendidikan seperti sekolah-sekolah dan Universitas Korea Utara. Sekolah-sekolah Korea Utara berbeda dengan sekolah Jepang pada umumnya dan memiliki kurikulum sendiri serta tidak dibiayai pemerintah Jepang.
Anggota Chongryon lebih menyukai mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah ini karena sekolah itulah satu-satunya tempat di mana anak-anak berdarah Korea Utara dapat mempelajari kultur, bahasa, dan sejarah Korea Utara tanpa mengalami rasisme. Meski menguntungkan, sekolah ini juga memiliki banyak masalah, seperti para guru yang hanya mendapat setengah dari gaji mereka, perusahaan yang mendiskriminasi lulusan sekolah-sekolah tersebut, serta universitas Jepang yang menolak lulusan sekolah Chongryon.
Sekolah ini juga hampir tak pernah mendapat subsidi dari pemerintah Jepang, berbeda dengan sekolah negara lain sperti Amerika dan Cina yang mendapat subsidi penuh dari pemerintah. Pemerintah beralasan bahwa mereka belum bisa meverifikasi kurikulum Chongryon. Padahal, pemerintah tak pernah meminta verifikasi kulikulum pada sekolah asing lain.
Murid-murid sekolah Chongryon pun kerap menjadi korban rasisme. Sebuah survei mengatakan bahwa sekitar 20% siswa sekolah Korea Utara dilecehkan oleh anggota sayap kanan Jepang pada 2003-2007 silam. Anggota sayap kanan ini kerap melakukan pelecehan itu dengan menyerang siswa-siswa Korea dengan pisau dan merobek seragam tradisional mereka. Karena itu, mahasiswa Universitas Korea tak lagi menggunakan pakaian tradisional Korea di luar kampus karena baju mereka akan dirobek oleh para sayap kanan Jepang.
Jika ingin melihat kehidupan siswa Korea di Jepang, teman-teman bisa menonton video berikut:
Kini, Asosiasi Hak Asasi Manusia untuk Penduduk Korea di Jepang tengah berusaha melawan sistem apartheid ini. Mereka pun mencoba mengajukan banding ke Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelesaikan masalah diskriminasi dan rasisme terhadap Chongryon dan etnis Korea lain di Jepang.
Sumber: