Dua pengacara asal Tokyo mengatakan pada hari Kamis (17/05) lalu bahwa mereka berencana untuk menuntut ratusan netizen sayap kanan Jepang yang melakukan kampanye meminta teguran kepada para pengacara tersebut, yang mendukung pendidikan gratis di sekolah-sekolah etnis Korea di Jepang.
Ryo Sasaki dan Kanehito Kita akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Distrik Tokyo pada akhir Juni mendatang. Mereka menuntut sekitar 960 dari 3.000 aktivis untuk membayar masing-masing 300.000 yen sebagai ganti rugi.
Aktivis online, yang dikenal sebagai netouyo atau net uyoku (yang secara harfiah berarti netizen sayap kanan) membombardir Tokyo Bar Association dengan kata-kata yang tajam untuk mengecam pengacara yang dianggap telah mendukung sekolah-sekolah Korea.
Pada tahun 2010, pemerintah Jepang meluncurkan kebijakan yang membuat biaya sekolah gratis, termasuk di sekolah-sekolah etnis. Dalam merancang kebijakannya, pemerintah dengan sengaja mengesampingkan beberapa sekolah Korea karena diduga memiliki hubungan dengan Asosiasi Umum Penduduk Korea Pendukung Pyongyang di Jepang, yang dikenal sebagai Chongryon.
Sejumlah pemerintah lokal juga telah membatalkan atau mengurangi subsidi ke sekolah-sekolah Korea yang merupakan dampak dari kasus penculikan oleh negara Korea Utara terhadap warga negara Jepang serta merupakan salah satu tindakan dari program rudal dan nuklir negara itu.
Banyak asosiasi pengacara di Jepang, termasuk Tokyo Bar Association, telah mengeluarkan pernyataan yang menyerukan agar sekolah-sekolah Korea di Jepang disubsidi dengan cara yang sama seperti sekolah lain.
Sebuah postingan blog berjudul "Yomei sannen" menghasut pembacanya untuk mengecam sejumlah besar pengacara yang bersikap pro-Korea. Blog ini menerbitkan daftar panjang nama pengacara, yang menyebabkan banyak pengacara yang menjadi sasaran. Akibatnya, banyak surat yang sampai di Tokyo Bar Association yang menuntut Sasaki untuk dihukum. Setelah Kanehito Kita memposting dukungannya terhadap Sasaki, dia juga menjadi sasaran.
Asosiasi pengacara langsung menolak tuntutan para aktivis untuk mengecam kedua pengacara tersebut. Sasaki dan Kita telah menawarkan beberapa opsi penyelesaian di luar pengadilan bagi para aktivis, dan beberapa telah menyetujui kesepakatan. Para pengacara juga berencana untuk mengajukan pengaduan pidana terhadap para blogger yang identitasnya masih belum diketahui.
"Permintaan (bagi kami untuk dihukum) tidak berdasar dan kami tidak berpartisipasi dalam tuntutan hukum yang berkaitan dengan sekolah-sekolah Korea. Masalah tersebut telah merugikan bisnis kami dan telah menyebabkan kesedihan secara mental," kata Sasaki dalam konferensi pers.
Etnis Korea telah lama menjadi target pelecehan oleh kaum nasionalis yang mengalami xenophobia di Jepang, yang mendorong diberlakukannya undang-undang anti-kebencian pada tahun 2016.
Menurut Kementerian Hukum Jepang, lebih dari 480.000 penduduk Korea tinggal di Jepang pada akhir Juni 2017. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan Korea yang dipaksa pindah ke Jepang selama masa penjajahan di Semenanjung Korea pada tahun 1910-1945.
(featured image: Al Jazeera)