Peristiwa yang berhubugan dengan Perang Dunia II memang selalu menarik untuk dibahas. Dan di antara semua peristiwa serta kasus yang berhubungan dengan PD II, ada satu kasus yang cukup menyita perhatian dunia, yaitu kasus propaganda Tokyo Rose. Apa teman-teman pernah mendengarnya? Jika belum, yuk kita telusuri bersama!
Tokyo Rose bukanlah sebuah nama, melainkan julukan bagi seorang wanita Jepang-Amerika bernama Iva Toguri. Julukan tersebut didapatkan Iva Toguri dari para tentara AS yang menyukai acara radio Jepang tempat Iva Toguri bekerja. Dan dari sinilah masalah dimulai.
Iva Toguri sendiri sebenarnya hanyalah perempuan warga negara Amerika yang merupakan putri dari pasangan imigran Jepang. Perempuan yang lahir pada tanggal 4 Juli (sama dengan hari kemerdekaan Amerika ya?) 1916 ini sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan budaya Jepang meski lahir dari pasangan Jepang. Ia menghabiskan masa mudanya dengan bergabung sebagai anggota pramuka dan memiliki cita-cita menjadi seorang dokter.
Nah, mengapa Iva Toguri bisa ada di Jepang dan bekerja di negeri sakura itu?
Ternyata,pada tahun 1941, di usianya yang ke-25, Iva “dikirim” ke Jepang untuk mengunjungi bibinya yang sedang sakit. Setelah mengunjungi sang bibi, Iva Toguri yang baru pertama kali pergi ke luar negeri pun merasa homesick dan memutuskan untuk kembali ke Amerika. Sayangnya saat ia hendak pulang, semua dokumennya ditolak dan beberapa hari setelahnya, bom Jepang menghantam Pearl Harbor.
Perang antar Amerika dan Jepang tersebut membuat Toguri terperangkap di Jepang. Karena Toguri berdarah Jepang, saat itu kepolisian militer Jepang pun menghampirinya dan merayu Toguri untuk membuang kewarganegaraan Amerika-nya dan mengganti kewarganegarannya menjadi Jepang dan bersumpah setia pada kaisar. Namun, ajakan itu ditolak Toguri. Hasilnya, ia diperlakukan layaknya orang asing dan gerak-geriknya diawasi. Iva Toguri pun akhirnya menghabiskan hari-harinya bersama kerabatnya. Sayangnya, ia mendapat perlakuan buruk dari tetangga dan para polisi militer, membuatnya terpaksa pindah ke Tokyo, di mana ia bekerja di bagian sekretariat dan pada Agustus 1943, ia mulai bekerja sebagai juru ketik di Radio Tokyo.
Di Radio Tokyo inilah Toguri bertemu dengan Major Charles Cousens, seorang staf militer Australia yang ditangkap di Singapura dan dipaksa untuk memproduksi sebuah siaran propaganda bernama “Zero Hour,” sebuah siaran berbahasa Inggris milik Jepang untuk menurunkan moral para tentara Amerika, memanfaatkan para tawanan perang untuk menyampaikan pesan-pesan mereka sejenaka mungkin dan tidak terlihat “menyakiti.”
Cousens pun merekrut Toguri untuk menjadi seorang penyiar dalam “Zero Hour.” Dengan suara maskulinnya, Toguri pun akhirnya menjadi penyiar dalam acara siaran tersebut mulai November 1943 dan mengambil nama “Orphan Ann" sebagai handle name-nya dan mulai mengisi acara tersebut dengan memutar musik dan lagu-lagu berbahasa Inggris layaknya seorang disc jockey (DJ) dan menceritakan lelucon-lelucon garing.
Transkrip dan rekaman program yang dibawakan Toguri yang bertahan sebenarnya menunjukkan bahwa ia tidak pernah menakut-nakuti pendengarnya terkait bom ataupun membicarakan istri-istri mereka, dua strategi yang kerap dipakai sebagai bentuk propaganda zaman perang. Bahkan, Toguri bukan satu-satunya penyiar wanita saat itu, masih ada beberapa penyiar wanita lain yang lebih “jahat,” meski dia yang bernasib sial dan dikenal dengan nama “Tokyo Rose” hingga akhir hayatnya.
Kisah Iva Toguri belum selesai lho, simak halaman 2 untuk melihat awal "mimpi buruk" sang Tokyo Rose dan akhir hidupnya ya!