Secara mengejutkan, Pengadilan Distrik Pusat Seoul pada 21 April menolak klaim kompensasi terhadap Jepang oleh 20 mantan "jugun ianfu/comfort women" dan pendukung mereka, dengan alasan kekebalan kedaulatan Tokyo.
Seorang hakim berbeda di Pengadilan Distrik Pusat Seoul memutuskan pada 8 Januari bahwa 12 penggugat berhak atas kompensasi karena dipaksa untuk memberikan layanan seks kepada personel militer Jepang pada masa perang.
Penggugat telah meminta 3 miliar won (290 juta yen, atau sekitar 38 miliar Rupiah) dari pemerintah Jepang, yang secara konsisten menyatakan bahwa kekebalan kedaulatannya di bawah hukum internasional berarti tidak dapat menghadapi persidangan di luar negeri.
Ia juga berpendapat bahwa semua klaim kompensasi yang berasal dari Perang Dunia II diselesaikan oleh perjanjian bilateral 1965 yang mengantarkan pemulihan hubungan diplomatik antara kedua negara.
Pemerintah tidak hanya tidak muncul di sesi pengadilan, tetapi dengan tegas menolak untuk mengakui putusan bulan Januari yang mendukung para penggugat.
Salah satu penggugat dalam kasus terbaru adalah Lee Yong-su, 92 tahun. Ia bertemu dengan wartawan setelah putusan terakhir dan menggambarkannya sebagai "tidak masuk akal". Lee mengatakan dia ingin kasus ini disidangkan oleh Mahkamah Internasional (ICJ).
Meskipun penggugat terikat untuk mengajukan banding, tidak ada kemungkinan Jepang akan membayar kompensasi, bahkan jika pengadilan yang lebih tinggi memutuskan untuk menentangnya.
Karena itu, penggugat menginginkan pemerintah Jepang dan Korea Selatan membawa kasus tersebut ke ICJ. Lee dan penggugat lainnya pun mengajukan gugatan pada Desember 2016.
Terlepas dari kurangnya perwakilan dari Jepang, Pengadilan Distrik Pusat Seoul melanjutkan prosedur untuk memulai proses pengadilan.
Pengadilan memutuskan pada 21 April bahwa prinsip-prinsip hukum umum internasional dan preseden pengadilan Korea Selatan mengharuskannya untuk mengakui kekebalan kedaulatan Jepang.
"Pemerintah Korea Selatan harus menyelesaikan masalah melalui negosiasi diplomatik dengan Jepang untuk memberikan pemulihan bagi para korban," kata pengadilan.
Pada 20 April, Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengumumkan telah menolak permintaan penggugat dalam putusan Januari untuk memulai prosedur penyitaan aset pemerintah Jepang yang disimpan di Korea Selatan. Penggugat berusaha untuk memiliki aset yang disita untuk membayar biaya hukum mereka.
Namun, pengadilan negeri memutuskan bahwa penyitaan aset yang melibatkan negara lain dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Juga perlu dicatat bahwa beberapa penggugat dalam kasus Januari lalu telah menerima uang tunjangan dari dana yang disiapkan melalui kontribusi sebesar 1 miliar yen oleh pemerintah Jepang sejalan dengan perjanjian tahun 2015 dengan Korea Selatan untuk memberikan dukungan kepada mantan wanita penghibur di zaman perang.