Jika diperhatikan, kaisar Jepang yang kita tahu selama ini pasti seorang pria kan? Ternyata, itu ada alasannya lho, menurut Hukum Kekaisaran Jepang, memang hanya seorang laki-laki dari jalur keturunan laki-lakilah yang bisa mengisi posisi kaisar. Namun, peraturan ini bisa sangat merepotkan kan jika suatu saat keluarga kekaisaran tidak memiliki keturunan laki-laki lagi? Nah, apakah di saat mendesak seperti itu seorang wanita bisa naik takhta untuk menjadi kaisar? Mungkin saja, jika sangat mendesak hingga harus mengubah peraturan yang berlaku saat ini. Selain itu, faktanya, ada beberapa kaisar wanita dari garis keturunan pria lho dalam sejarah Jepang. Siapa saja mereka? Mari kita lihat!
Kaisar Suiko (592–628)
Kaisar Suiko adalah putri dari Kaisar Kinmei yang naik takhta setelah pendahulunya, Kaisar Sushun dibunuh oleh seorang anggota klan Soga. Suiko naik takhta setelah dipandang dapat membawa kestabilan politik berkat ibunya yang merupakan anggota dari Klan Soga. Ia menjadi saksi berkembangnya agama Buddha dan dibangunnya Kuil Hōryūji di Nara. Misi diplomatis Jepang ke Cina juga dimulai saat kepemimpinannya lho.
Kaisar Kōgyoku (642–645)/Saimei (655–661)
Karena tidak ada kepastian terkait siapakah yang akan naik takhta setelah kematian suaminya, Kaisar Jomei, cicit dari Kaisar Bidatsu akhirnya naik takhta menggantikan sang suami dengan nama Kōgyoku. Ia pun memimpin Jepang selama beberapa tahun sebelum sang adik, Kaisar Kōtoku naik takhta. Namun, ketika sang adik meninggal dan tidak memiliki kandidat penerus yang jelas, Kōgyoku kembali memimpin dengan nama baru, Saimei.
Kaisar Jitō (690–697)
Putri Kaisar Tenji dan istri dari pendahulunya, Kaisar Tenmu ini naik takhta karena sang putra, Pangeran Kusakabe memiliki saingan kuat dalam pewarisan takhta ketika itu. Sayangnya, Kusakabe meninggal tak lama kemudian, jadi Jitō memimpin hingga sang cucu sukup umur untuk naik takhta sebagai Kaisar Monmu.
Kaisar Genmei ( 707–715)
Kaisar Genmei adalah adik tiri dari Kaisar Jitō dan putri dari Kaisar Tenji serta istri dari Pangeran Kusakabe dan ibu dari Kaisar Monmu. Ia naik takhta karena sang cucu (Kaisar Shōmu) masih terlalu muda untuk naik takhta setelah kematian Monmu.
Kaisar Genshō ( 715–724)
Berikutnya, ada satu-satunya wanita yang meneruskan takhta langsung dari kaisar wanita, Kaisar Gensho, putri dari Kaisar Genmei. Karena sang ayah adalah Pangeran Kusakabe, putra dari Kaisar Tenmu, ia berada di garis keturunan kekaisaran pria. Kaisar Gensho naik takhta saat Genmei turun takhta setelah 9 tahun berkuasa dan calon kaisar berikutnya, Shōmu masih dianggap terlalu muda untuk naik takhta.
Kaisar Kōken (749–758)/Shōtoku (764–770)
Putri dari Kaisar Shōmu ini merupakan wanita pertama lho yang dicalonkan jadi kaisar setelah putranya tewas. Ia naik takhta sebagai Kaisar Kōken, namun tak langsung turun takhta setelah sepupunya menjadi Kaisar Junnin. Tetapi, dalam kepemimpinan Junnin, terjadi sebuah perebutan kekuasaan antara ia dan Kōken yang didukung oleh biksu Buddha Dōkyō. Perebutan kekuasaan ini dimenangkan oleh Kōken ketika pendukung Junnin, Fujiwara Nakamaro, memberontak dan membelot. Ia pun kembali memimpin selama 6 tahun dengan nama Shōtoku.
Kaisar Meishō (1629–43)
Kaisar Meishō naik takhta karena sang ayah, Kaisar Go-Mizunoo tidak memiliki anak laki-laki sama sekali pada saat turun takhta akibat perselisihan antara Keshogunan Tokugawa dan kekaisaran. Namun, ia memiliki seorang anak laki-laki setelah turun takhta, dan Kaisar Meishō pun menyerahkan kekuasaannya pada anak itu setelah ia cukup umur untuk menjadi kaisar berikutnya, Kaisar Go-Kōmyō.
Kaisar Go-Sakuramachi ( 1762–70)
Kaisar wanita terakhir adalah Kaisar Go-Sakuramachi, putri dari Kaisar Sakuramachi yang naik takhta setelah kematian Kaisar Momozono untuk menggantikan sang penerus yang dianggap terlalu muda untuk menjadi seorang kaisar. Setelah tumbuh dewasa, anak itu menjadi Kaisar Go-Momozono dan menggantikan kekuasaan Kaisar Go-Sakuramachi.
Nah, itulah para kaisar wanita dari Jepang. Jadi, bukan tidak mungkin kan seorang wanita menjadi kaisar?