Pandemi virus corona memang membuat semua orang repot, tak terkecuali para pemagang dan pekerja asing di Jepang. Sebelum pandemi, posisi mereka sudah rentan, apalagi setelah pandemi menyerang.
Keluhan dan cerita dari para pemagang asing di Jepang diungkapkan dalam sebuah seisi konsultasi di kota Ota, Prefektur Gunma pada 28 Desember 2020 lalu. Konsultasi ini digelar oleh Anti-Poverty Network Gunma yang terdiri dari para ahli hukum, pekerja kesejahteraan, dan organisasi asal Kanto, Amigos, yang menyediakan dukungan kesehahatan dan bantuan lainnya bagi para penduduk asing. Para pekerja asing juga terlihat hadir dalam acara tersebut.
Seorang wanita berusia 60 tahunan asal Filipina yang memiliki visa kependudukan jangka panjang dan bekerja di sebuah pabrik di Gunma mengatakan bahwa ia di-PHK pada Maret 2020 lalu. Kini, ia tak mampu membawa putranya yang sakit keras ke rumah sakit.
"Saya tak mampu membawa putra saya ke rumah sakit karena kondisi finansial memburuk,” ujarnya.
Hal serupa pun dialami seorang pria 40 tahunan asal Peru.
"Saya sempat bekerja hingga November lalu, namun tiba-tiba dipecat. Mungkin karena virus corona kembali meningkat,” ujarnya.
“Sekarang saya tak tahu bagaimana melanjutkan hidup,” ujarnya sambil memakan makanan dari bento box yang disediakan panitia acara.
Munehiro Nakamichi, kepala dari Anti-Poverty Network Gunma mengungkapkan bahwa pandemi virus corona membuat mereka yang berada di posisi rentan seperti lansia, ibu tunggal, dan orang asing makin terkucilkan. Pernyataan Masataka Nagasawa, kepala kantor administratif Amigos pun memperkuat kata-kata Nakamichi. Menurutnya, kasus merebaknya virus corona meningkat di kalangan pekerja dan penduduk asing setelah mereka yang tak mampu lagi membayar sewa harus mencari tumpangan di tempat tinggal orang lain yang berasal dari negara yang sama.
"Kami telah mengirimkan sabun, masker, termometer, dan benda lain sebagai langkah pencegahan virus corona, tapi kini keluarga yang menerima turun dari 400 hingga 300 saja. Saya khawatir risiko infeksi meluas karena banyak orang yang tinggal dalam satu ruangan sempit bersama-sama,” ujar Nagasawa.
Kota Ota sendiri merupakan tempat di mana terjadinya dugaan pelanggaran hukum imigrasi pada Oktober 2020 lalu, di mana sekumpulan warga Vietnam ditahan karena overstay. Penangkapan itu terjadi sehubungan dengan pencurian ternak skala besar yang terjadi sebelumnya. Sejumlah besar warga negara Vietnam di Ota yang berusia 20-an hingga 30-an, adalah trainee praktik kerja yang meninggalkan tempat kerja mereka karena berbagai alasan. Kendati demikian, investigasi yang dilakukan Kepolisian Prefektur Gunma masih belum menemukan titik terang.
Dan melansir Mainichi, masih banyak kasus di mana para pemagang atau siswa asing harus mencari pekerjaan untuk menambal hutang mereka terhadap broker di negara asal mereka. Tak hanya itu, ada juga kasus upah yang tak dibayarkan, kekerasan, pelecehan seksual, dan berbagai tindak kekerasan lainnya dari atasan mereka.
Pemerintah Jepang sendiri diduga terlibat dalam praktik overstay dan bertanggung jawab atas masalah perlakuan atasan terhadap para pemagang dan para pekerja migran lain yang mereka anggap sebagai “obyek sekali-pakai.”
Pada awal tahun 1900-an misalnya. Saat itu, tak aneh jika kepolisian tak memperdulikan orang asing yang overstay dan tak memiliki status kependudukan resmi. Bahkan, menurut Kementerian Kehakiman, pada 1993 silam dilaporkan ada 300.000 pekerja asing yang overstay.
“Sulit melihat tingginya angka ini tanpa mengaitkan bahwa pemerintah menyetujui praktik seperti ini. Situasi ini dibiarkan tidak terselesaikan karena Jepang bergantung pada tenaga kerja individu overstay tanpa menawarkan dukungan sistemik kepada mereka hingga akhirnya para penduduk overstay ini diganti dengan orang-orang keturunan Jepang dan trainee asing,” ujar Ippei Torii, direktur representatif dari Solidarity Network with Migrants Japan (Ijuren).