Berita Jepang | Japanesestation.com

Langkah pemerintah Jepang untuk meratifikasi protokol pemberdayaan dan hak-hak perempuan ke PBB kembali menjadi perdebatan di dalam Diet setelah anggota parlemen senior dari partai oposisi meminta penjelasan pemerintah atas ditundanya langkah tersebut selama dua dekade.

Memang, Ratification of the Optional Protocol to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women / Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) akan membentuk pilar utama dalam rencana pemerintah yang ingin mencapai kesetaraan gender. Karena itulah, isu ini menjadi perhatian di sesi luar biasa Diet pada 4 Desember lalu.

pekerjaan dengan tingkat stres rendah japanesestation.com
Wanita pekerja, salah satu bukti kesetaraan gender (pakutaso.com)

Dilansir dari Asahi Shimbun, dua anggota parlemen senior dari partai oposisi meminta Perdana Menteri Yoshihide Suga untuk menyelesaikan isu dan meratifikasi protokol tersebut.

Sebelumnya, kelompok advokasi publik OP CEDAW Action menggelar sebuah pertemuan di gedung kantor anggota parlemen pada 19 November lalu untuk melobi ratifikasi protokol tersebut sedini mungkin.  

Anggota parlemen oposisi yang hadir pun menyetujui urgensi masalah tersebut.

"Kesempatan untuk berubah telah datang," kata anggota Majelis Rendah Kiyomi Tsujimoto dari CDP dalam pertemuan 19 November.

"Masalah kesetaraan gender juga mencuat di Diet," kata anggota Dewan Tinggi Tomoko Tamura dari Partai Komunis.

OP CEDAW Action juga berencana untuk mengajukan petisi ke parlemen sebelum sesi berakhir pada bulan Desember. Mereka juga telah mengantongi lebih dari 20.000 tanda tangan dukungan ratifikasi.

Jepang sendiri telah meratifikasi badan utama CEDAW.

Sebelumnya, diketahui bahwa Protokol Opsional CEDAW, yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1999, telah diratifikasi oleh 114 negara. Namun, Jepang terus mengelak dan mengatakan tengah "mempertimbangkan" pilihan untuk meratifikasi dokumen tersebut selama 2 dekade.

Poin penting bagi Jepang terkait dengan mekanisme dalam protokol tersebut adalah "keluhan individu". Hal ini memungkinkan individu atau kelompok untuk beralih langsung ke komite PBB dan mencari penyelesaian ketika salah satu hak yang ditetapkan dalam konvensi telah dilanggar dan semua pemulihan yang tersedia di dalam negeri, seperti pergi ke pengadilan, telah berakhir tanpa hasil.

Sistem tersebut akan memberikan jalan bagi kasus-kasus pelanggaran hak di Jepang untuk ditinjau kembali oleh standar internasional.

kesetaraan gender jepang japanesestation.com
Kelompok OP CEDAW Action menggelar sebuah meeting di distrik Nagatcho, Tokyo pada 19 November untuk memberikan petisi pada anggota parlemen terkiat ratifikasi Jepang terhdap Optional Protocol to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women. (asahi.com)

Lantas, mengapa pemerintah Jepang seakan terus mengelak meratifikasi protokol tersebut? Rupanya, Kementerian Luar Negeri Jepang memiliki alasannya sendiri.

“(Komite PBB) dapat memberikan komentar dan rekomendasi yang bertentangan dengan keputusan pengadilan yang disampaikan di Jepang dan meminta negara kami untuk memberikan kompensasi kepada pengadu atau mengubah undang-undang yang relevan (jika Jepang menandatangani protokol),” kata seorang pejabat kementerian.

“Apa yang harus dilakukan jika itu terjadi? Karena itu, kami masih mempertimbangkan,” tambahnya.

Misalnya saja, PBB merekomendasikan agar Jepang memberikan solusi yang memungkinkan pasangan yang sudah menikah agar memiliki nama keluarga yang terpisah. Hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa ketentuan Hukum Perdata yang mewajibkan pasangan menikah memiliki nama keluarga yang sama adalah konstitusional.

Pemerintah khawatir mereka tak mampu melakukan apapun dalam kasus seperti iti. Karena itu, ratifikasi pun dilakukan secara hati-hati.

Ini mengeluarkan Rencana Dasar untuk Kesetaraan Gender setiap lima tahun.

Rencana dasar kedua tahun 2005 berisi bagian yang berbunyi, "Kemungkinan penandatanganan Protokol Opsional untuk CEDAW akan dipertimbangkan."

Rencana ketiga tahun 2010 mengatakan, "Penandatanganan protokol lebih awal akan dipertimbangkan dengan serius."

Sementara itu, Jepang mengusulkan Rencana Dasar terkait Kesetaraan Gender setiap 5 tahun sekali dengan rencana dasar yang kedua pada tahun 2005 silam berbunyi, “Penandatanganan Optional Protocol pada CEDAW akan dipertimbangkan.”

Sementara itu, rencana ketiga dan keempat berbunyi, “Penandatanganan lebih awal akan dipertimbangkan secara serius.”

Rencana kelima yang akan disetujui oleh Kabinet di akhir tahun ini ada dalam tahap draft “master plan.” Namun, belum ada kemajuan lebih lanjut.

“Hal terakhir yang ingin kami lakukan adalah memberi kesan bahwa pemerintah mundur dari pekerjaan tentang masalah ini,” kata seorang pejabat kementerian saat itu.

Masalahnya, tetap saja tidak ada tindakan penting dari pemerintah hingga saat ini.

perdana menteri Jepang Yoshihide Suga japanesestation.com
Yoshihide Suga (asiatimes.com)

Pada saat sesi Diet luar biasa lalu pun, Suga hanya mengatakan, “Kami serius mempertimbangkan penandatanganan secepatnya” sambil menegaskan kembali bahwa dia mengingkan adanya masyarakat di mana “semua wanita bisa bersinar.”

Namun, Mutsuko Asakura, seorang profesor dari Waseda University professor emerita hukum ketenagakerjaan, menganggap sikap pemerintah itu menggelikan.

“Meratifikasi sebuah konvensi meski bukan protokol opsional itu sangat lucu. Sama seperti Anda mengatakan Anda akan membuat undang-undang tetapi Anda tidak ingin mematuhinya,” kata Asakura, yang menjabat sebagai co-head OP CEDAW Action.

“Jika pengaduan individu menjadi pilihan, pengadilan akan mulai memberikan keputusan yang mencerminkan semangat konvensi,” ujarnya.