Di Jepang kini banyak wanita yang tidak mau atau menunda menikah, dan wanita-wanita ini kerap dihina dengan julukan “kue Natal,” merujuk pada wanita berumur 25 tahun ke atas yang menolak menikah dan dicap seperti kue Natal yang tidak laku setelah 25 Desember. Ternyata sama saja ya seperti di Indonesia?
Lantas, apa yang menyebabkan mereka tidak ingin menikah dan memilih untuk tetap single atau menikahi diri sendiri? Dilansir dari The New York Times, inilah beberapa alasan yang muncul dari para wanita Jepang yang memilih tidak menikah.
“Aku ingin mencoba hidup dengan tenagaku sendiri,” ujar Hanaoka, seorang wanita berusia 25 tahun yang melangsungkan suatu kegiatan unik, menikahi dirinya sendiri alias solo wedding. Ia tetap mengenakan gaun pernikahan yang cantik dan memesan kue pernikahan, semua untuk dirinya sendiri .
Ya, itulah jawaban dari salah satu wanita Jepang yang memilih untuk tidak menikah dan menikahi dirinya sendiri, menolak langkah tradisional yang sudah umum. Apakah hanya ini alasannya? Ternyata tidak.
Menghambat karir mungkin salah satu alasannya. Para istri dan ibu di Jepang seperti diwajibkan untuk segala bisa, mulai dari mengurus anak, mengerjakan pekerjaan rumah, dan menolong saudara mereka yang sudah tua. Hal ini membuat makin banyak saja wanita yang lelah dengan standar ganda ini dan memilih untuk fokus pada karir mereka dan menemukan kebebasan.
Jumlah wanita Jepang yang tidak ingin menikah semakin banyak saja. Pada tahun 1990, hanya ada sekitar 20 orang di Jepang yang tidak ingin menikah meski umur mereka telah mencapai 50 tahun. Namun pada 2015, jumlah ini melonjak drastis. Bahkan ada rentang umur 35 hingga 39, hampir ¼ dari total data menyatakan tidak pernah menikah.
Tahun 2018 lalu, angka pasangan yang melangsungkan pernikahan ada di titik terendahnya. Otomatis, membuat angka kelahiran ikut menurun dan tahun 2019 menjadi titik terendah kelahiran bayi.
Pemerintah berusaha mengatasi ini dengan melakukan seminar bagi pasangan dan semacamnya. Namun, bagi para wanita Jepang yang kerap dikekang oleh para pria, anak-anak, dan keluarganya, melajang berarti kebebasan.
“Ketika mereka menikah, tentu banyak yang harus dikorbankan,” ujar Mari Miura, professor ilmu politik di Sophia University, Tokyo.
Hal ini juga dipengaruhi dengan jam kerja Jepang. Biasanya, wanita berumur 15 sampai 64 tahun sudah memiliki pekerjaan. Sayangnya, semua itu terhambat ketika mereka menikah dan memiliki anak. Mereka harus menyiapkan sarapan dan bekal yang katanya sih harus selalu dilakukan wanita, menjemput anak mereka, belum lagi mengurus pekerjaan rumah. Sementara sang suami mengutamakan waktu “bangun” mereka untuk perusahaan mereka.