Selain itu, kini banyak wanita lajang dengan karir bagus yang memiliki banyak uang. Sehingga mereka tak lagi butuh suami dalam hidupnya.
“Salah satu alasan wanita untuk menikah adalah memiliki kehidupan finansial stabil. Namun, aku tidak kekurangan secara finansial. Jadi, aku lebih memilih untuk mengejar cita-citaku,” ujar Miki Matsui (49), seorang direktur di perusahaan peneribitan di Tokyo.
Beberapa wanita lajang juga mengatakan kalau curhatan teman-temannya yang memiliki anak itu mengerikan.
“Tidak adil jika wanita hanya diam di rumah dan menjadi seorang ibu rumah tangga. Mereka mungkin senang saat mereka bersama anak mereka, tapi ada yang mendeskripsikan suami mereka sebagai bayi raksasa yang merepotkan dan tidak ingin mengurus suaminya,” ujar Shigeko Shirota (48), seorang petugas administrasi yang juga seorang penari.
Melajang membuat Shirota bisa menikmati pekerjaan dan hobinya. Musim panas tahun lalu, ia mengikuti kompetisi menari di Irlandia, membawa ibunya liburan ke Cina, dan beberapa tahun sebeluknya, ia menaiki kapal pesiar mewah dan menyewa ruangan untuk dirinya sendiri.
Ada juga para wanita yang beranggapan kalau menikah bukanlah sesuatu yang darurat.
“Data menunjukkan bahwa banyak wanita yang menunggu waktu yang tepat untuk menikah. Namun “waktu” tersebut tidak pernah datang dalam hidupnya,” ujar James Raymo, seorang profesor sosiologi di University of Wisconsin-Madison yang sempat menulis tentang pernikahan di Jepang.
Wanita yang tidak ingin memiliki anak juga biasanya tidak ingin menikah.
“Tidak aneh jika mengatakan kalau orang-orang di Jepang menikah karena ingin memiliki anak. Jadi, jika tidak ingin punya anak, makin berkurang alasan untuk menikah,” ujar Mary C. Brinton, seorang professor sosiologi di Harvard University yang meneliti Jepang kontemporer.
Kembali ke Hanaoka, wanita yang dua tahun lalu menikahi dirinya sendiri. Ia mengatakan kalau melajang juga memiliki risiko, tapi ia mampu menangkalnya dengan baik. Misalnya, saat ia merasa kesepian, ia akan menonton video “pernikahannya” untuk melihat orang-orang yang mendukung dan mencintainya.
Ia juga mengatakan bahwa saat ia tumbuh dewasa, ibunya terlihat tidak bahagia. Dan setelah ia bekerja menjadi seorang guru TK, ia menyadari bahwa banyak ibu yang terlihat, “mencoba mengurus anaknya dengan baik tapi tidak mengurus diri mereka sendiri.”
Karena itu ia berpendapat, “Jika aku menjadi seorang ibu, aku takut kalau aku diharapkan untuk berperan seperti seorang ibu yang diinginkan penduduk Jepang dan tidak bisa menjadi diri sendiri,” kata dia, "Lebih baik aku melakukan apa yang aku mau."