Berita Jepang | Japanesestation.com

Salah satu stereotip Jepang adalah penduduknya yang dikenal gila kerja. Memang tidak salah sih, karena salaryman di Jepang memang seperti menyerahkan hidup mereka pada perusahaan dan pekerjaannya hingga overwork, membuat hidup mereka tak seimbang. Nah, apakah kultur kerja Jepang yang “toxic” ini bisa diubah? Mari kita lihat uraiannya yang dikutip dari Japan Info berikut.

Sebenarnya, beberapa perusahaan Jepang telah mencoba untuk mengubah kultur kerja toxic Jepang. Misalnya saja Microsoft Japan yang mencoba menerapkan sistem baru, 4 hari kerja dalam seminggu yang konon dapat meningkatkan produktvitas namun menurunkan biaya.

Eksperimen Microsoft Japan itu digelar pada musim panas tahun 2019. Peraturannya, para karyawan akan bekerja selama 4 hari per minggu namun tetap dibayar sama dengan 5 hari kerja dan mendapat 3 hari libur. Ternyata, efeknya sangat positif dan Microsoft Japan pun mengumumkan bahwa mereka akan melakukannya lagi di musim dingin di tahun yang sama karena terbukti dengan naiknya produktivitas sebanyak 40% dengan biaya lebih rendah 23%.

Sayangnya, masalah utamanya ada di perusahaan lain. Mengubah peraturan pun nampaknya tidak berpengaruh banyak.

Nah, sebelumnya, pada tahun 2017, pemerintah Jepang pun sempat membuat sebuah campaign bernama Premium Friday, namun gagal.

Premium Friday dibuat sehingga para pekerja bisa meninggalkan kantor pada pukul 15:00 di salah satu hari Jumat pada setiap bulannya. Hal ini dimaksudkan agar para pekerja dapat memiliki waktu untuk bersantai dengan pulang lebih cepat.

Memang sih, idenya bagus, Masalahnya, Premium Friday bukanlah suatu kewajiban. Intinya, perusahaan bebas untuk berpartisipasi atau tidak. Bahkan, perusahaan yang berpartisipasi menerima komplain dari pekerja bahwa mereka harus bekerja di hari Sabtu atau lembur di hari lain untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk. Ya, meninggalkan kantor lebih cepat tidak berarti dapat merubah kultur kerja toxic Jepang kecuali adanya peraturan wajib dari pemerintah dan perubahan dari perusahaan itu sendiri.

Nah, melihat yang dilakukan Microsoft Japan, berarti sebenarnya perubahan bisa terjadi jika ada kemauan dari perusahaan bukan? Namun, perubahan kultur kerja toxic ini tak akan terjadi jika Jepang tetap memiliki alasan seperti misalnya pekerja yang telah membereskan semua pekerjaannya pulang larut hanya karena tak ingin menjadi orang pertama yang meninggalkan kantor karena takut dicap “buruk.”

Selain itu, perusahaan Jepang selalu memiliki waktu rapat yang panjang. Pada percobannya, Microsoft menyingkat rapat mereka hingga 30 menit saja dan hasilnya sangat positif. Tentu saja ini sangat membuat iri karena perusahaan lain bisanya menggelar berbagai rapat panjang setiap harinya dan membuat pekerjaan menumpuk yang berujung (terpaksa) lembur.

kultur kerja Jepang toxic japanesestation.com
Ilustrasi pekerja Jepang yang lembur.  (pakutaso.com)

Dengan eksperimen Microsoft Japan, kita dapat melihat bahwa sebenarnya hal-hal ini dapat diubah dengan mudah dan orang-orang pun akan menyambut perubahan tersebut dengan puas. Dan melihat hal ini, beberapa perusahaan lain pun mulai melakukan hal yang sama, mengubah kultur kerja mereka perlahan.

Salah satu perubahan ini bisa dilihat di beberapa perusahaan Jepang, seperti dalam masalah dress code ke kantor yang lebih bebas, asal tetap rapi. Tak ada satu pun yang melayangkan komplain, menunjukkan bahwa meski kecil, perubahan disambut dengan baik oleh mayoritas pekerja di Jepang. Bukan berarti karena mayoritas dari mereka diam saja, mereka setuju dengan kondisi sebelumnya yangd apet menyebabkan stress, bahkan karoshi (meninggal karena overwork).

Namun, seperti sudah disebutkan sebelumnya, perubahaan itu dapat berlaku jika perusahan dapat mengadopsi aturan baru dengan baik. Pemerintah Jepang pun sebaiknya bisa mewajibkan peraturan baru tersebut sehingga tak akan ada perusahaan yang bisa menolak.

Sayangnya, meski beberapa perusahaan telah menetapkan peraturan baru yang dapat mmeberi dampak positif dalam kultur kerja, penerapannya sangat lambat sehingga menyebabkan efek domino bagi perusahaan. Intinya, Jepang tak akan mendapat perubahan kultur kerja toxic jika pemerintah membuat dan menegaskan satu set peraturan kerja baru untuk memastikan kondisi kultur kerja negara membaik.