Mengingat betapa penuhnya media hiburan Jepang dengan kisah-kisah romansa remaja yang indah, bisa dimaklumi jika orang-orang berasumsi bahwa cinta berterbangan setiap kali sekolah berlangsung. Tetapi pada kenyataannya kehidupan sekolah di Jepang tidak selalu seindah itu. Ironisnya, banyak sekolah di Jepang memiliki peraturan yang secara khusus melarang siswanya memiliki kehidupan romantis apa pun, dengan logika bahwa mereka harus fokus pada pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler.
Untuk memperjelas, ini bukan hanya aturan yang melarang para siswa untuk bermesraan di ruang ekskul setelah kelas atau berpegangan tangan di aula. Sekolah dengan peraturan “no-romance” melarangan penuh para siswanya untuk berpacaran, termasuk saat mereka di luar area sekolah.
Tentu saja, anak muda tidak pernah begitu peduli pada keputusan otoritas orang dewasa, dan beberapa siswa di sekolah dengan larangan ini mengembangkan perasaan satu sama lain dan berkencan secara rahasia. Kadang-kadang, mereka ketahuan pacaran, seperti kejadian yang menimpa seorang gadis Jepang dan pacarnya pada tahun ketiga mereka di Horikoshi High School, sebuah sekolah swasta di Nakano, Tokyo, pada musim gugur 2019 lalu.
Seorang guru mengetahui hubungan mereka pada akhir November, dan pasangan itu mengaku pacaran setelah diinterogasi. Buku pegangan siswa Horikoshi secara tegas melarang siswa untuk berkencan, sehingga kepala sekolah menasihati gadis itu, dan mungkin juga anak laki-laki itu, untuk "keluar secara sukarela" dari sekolah.
Otoritas tertinggi di sekolah yang menasihati siswa untuk keluar secara sukarela hanya karena ketahuan pacaran terdengar sangat mengerikan, seperti mengancam mereka dengan pengusiran, dan bahkan ada stigma negatif yang menyertainya. Jadi, gadis Jepang itu dikeluarkan dari sekolah, padahal pada saat itu dia hanya tinggal beberapa bulan lagi menuju kelulusan.
Namun, kejadian itu tidak menjadikannya memiliki cara berpikir yang sama dengan sekolah Horikoshi, dan dia sekarang menuntut sekolah tersebut atas apa yang dia sebut sebagai “penyalahgunaan kekuatannya”. Pada saat kejadian, dia berusia sekitar 17 atau 18 tahun, dan dia menegaskan bahwa dia menderita tekanan psikologis yang berat sebagai akibat dari tindakan sekolah yang semena-mena mengeluarkannya. Sebagai kompensasi, dia meminta ganti rugi sebesar 3,7 juta yen (sekitar 500 juta Rupiah) dari Horikoshi Gakuen, pengelola Horikoshi High School.
Pernyataan dan tuntutan ini dibuat di pengadilan distrik Tokyo pada hari Rabu lalu, dengan Horikoshi menyatakan niatnya untuk melawan gugatan tersebut. Persidangan tersebut kemungkinan tidak akan bisa menghapus kebijakan larangan kencan itu sendiri, yang terlah berlaku sejak lama di Horikoshi dan sekolah lain yang memiliki filosofi yang sama. Karena tuntutan dari mantan siswa tersebut bukanlah atas peraturan itu sendiri yang tidak adil, tetapi bahwa hukuman yang dijatuhkan atas peraturan tersebut terlalu berat.