Berita Jepang | Japanesestation.com

Awal tahun ini, Hana Kimura, pegulat profesional dan bintang "Terrace House", bunuh diri setelah terus menerus di-bully di media sosial. Kemudian ada aktor Haruma Miura yang ditemukan meninggal, diduga bunuh diri, di apartemennnya. Ada aktris Yuko Takeuchi, yang baru saja melahirkan anak keduanya, juga meninggal diduga karena bunuh diri. Dan masih banyak lagi selebriti Jepang yang dinyatakan meninggal karena bunuh diri.

Kematian mereka menjadi tanda peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kasus bunuh diri di Jepang selama pandemi virus corona, setelah satu dekade penurunan angka yang diperoleh dengan susah payah. Pada bulan Agustus yang lalu, pemerintah Jepang melaporkan peningkatan angka bunuh diri yang mencapai hampir 16 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan angka tersebut melonjak hingga 74 persen di antara remaja perempuan dan perempuan berusia 20-an dan 30-an.

Dari luar, para selebriti Jepang ini tampaknya memiliki kehidupan emas. Tetapi tidak ada yang bisa sepenuhnya mengetahui siksaan pribadi apa yang mungkin mereka alami di belakang kamera. Namun, masyarakat Jepang sangat menghargai “gaman”, menahan atau penyangkalan diri, di mana karena hal ini banyak orang yang merasakan tekanan untuk selalu menyembunyikan perjuangan dan masalah pribadi mereka. Beban ini bertambah bagi para selebriti yang kesuksesannya bergantung pada cerminan diri yang sempurna tanpa cela.

“Sebagai masyarakat, kami merasa seperti tidak bisa menunjukkan kelemahan kami, (karena) kami harus menahan semuanya,” kata Yasuyuki Shimizu, direktur Pusat Penanggulangan Bunuh Diri Jepang. “Bukan hanya orang merasa tidak bisa pergi ke konselor atau terapis, tapi banyak yang merasa mereka bahkan tidak bisa menunjukkan kelemahan mereka kepada orang-orang terdekat.”

Haruma Miura
Haruma Miura, aktor Jepang populer yang bunuh diri (Billboard Japan)

Alasan bunuh diri tiap individu sangatlah kompleks. Orang Jepang, seperti banyak orang lainnya, merasakan tuntutan kejam dari media sosial, di mana orang merasa mereka harus menampilkan narasi tentang kesuksesan dan kebahagiaan hidup mereka. "Ini pasti bisa menjadi salah satu penyebab depresi jika realita kehidupanmu tidak cocok dengan ekspektasi orang lain,” kata Yasuyuki Shimizu.

Bahkan, di luar media sosial, orang Jepang cenderung menampilkan sisi positif mereka kepada publik. Mereka juga merasa bahwa mereka harus selalu mematuhi aturan dan tidak menonjol atau berbeda dari orang lain.

Selama pandemi, kecenderungan sosial ini sebenarnya sedikit membantu negara ini terhindar dari lonjakan kasus dan kematian, karena masyarakat Jepang cenderung mengikuti aturan tentang penggunaan masker, menghindari tempat-tempat yang ramai, dan mempraktikkan kebersihan dan jarak sosial.

Angka Bunuh Diri
Angka bunuh diri di Jepang meningkat selama pandemi virus corona (nytimes.com)

Namun pandemi ini juga memicu penyebab lain dari depresi. Beberapa orang kehilangan pekerjaan atau mengalami perubahan drastis dalam pekerjaan, mereka juga tidak dapat menghabiskan waktu bersama teman atau mengunjungi keluarga besar. Selama periode ketika sekolah ditutup dan banyak karyawan bekerja dari rumah, keluarga terpaksa berdesakan di rumah kecil setiap harinya.

“Jika anda adalah orang yang menjadi sorotan media, dan media mengetahui bahwa anda harus menerima dukungan kesehatan mental, itu akan berdampak buruk bagi mental dan karir anda. Jika anda diketahui pernah menderita penyakit mental, maka citra tersebut akan terus melekat pada anda selamanya, dan semakin sedikit tawaran pekerjaan yang akan didapat.” Kata Tamaka Tsuda, seorang produser televisi.

"Sayangnya, dengan mentalitas orang Jepang, kami memiliki kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri. Para penghibur akan berpikir ‘mungkin saya tidak dipekerjakan karena saya tidak cukup baik’.” Kata Hiromichi Shizume, produser lainnya.

Tatamae, budaya jepang,
Angka bunuh diri di Jepang meningkat selama pandemi virus corona (tsunagujapan.com)

Meskipun begitu, opini publik tidak dapat dibatasi. Para selebriti akan langsung dikritik atas perilaku apapun yang dianggap tidak cukup bersyukur atas apa yang mereka miliki. Bahkan, setelah kematiannya, Yuko Takeuchi masih menjadi sasaran kecaman publik.

“Yuko Takeuchi, saya tidak percaya bahwa anda begitu tidak bertanggung jawab setelah melahirkan anak, lalu bunuh diri hanya beberapa bulan kemudian.” Tulis seorang pengguna Twitter.

Tidak hanya di Jepang, bunuh diri adalah bagian dari masalah sosial yang besar, tetapi masyarakat belum menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Kita harus tahu bahwa kita bisa mengurangi keinginan seseorang untuk bunuh diri. Ketika seseorang melakukan bunuh diri, banyak anggota masyarakat gagal untuk memahami apa itu depresi dan malah menyalahkan keputusan individu tersebut, dan menyebut mereka sebagai orang yang lemah. Kita semua membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang depresi jika kita ingin menolong orang-orang di sekitar kita.

Sumber: The New York Times, Japan Info