Pembaca setia JS pasti masih ingat kan artikel tentang Shimabara dan Kepulauan Amakusa? Di kedua artikel yang menggambarkan tentang perjuangan umat Kristen tersebut, JS sempat menyinggung tentang Kakure Kirishitan atau “Hidden Christian” alias penganut agama Kristen yang bersembunyi. Nah, sebenarnya apakah Kakure Kirishitan itu? Apakah mereka masih ada di zaman modern ini? Mari kita telusuri.
Apa Itu Kakure Kirishitan?
Kakure Kirishitan adalah mereka yang menganut agama Kristen dan beribadah secara diam-diam ketika agama Kristen dilarang oleh pemerintah saat itu (Keshogunan Tokugawa) pada abad ke-16. Hal ini juga menjadi salah satu pemicu Pemberontakan Shimabara yang dipimpin oleh Shiro Amakusa.
Nah, para umat Kristen ini beribadah secara diam-diam dengan cara mereka sendiri dan hidup seakan-akan bukan penganut agama Kristen agar dapat berbaur dengan masyarakat Jepang umumnya dan kepercayaan tradisional mereka. Mereka yang melanjutkan praktik keagamaan ini menemukan cara untuk tetap beribadah dengan menyamarkan cara beribadah mereka menjadi layaknya cara beribadah agama Buddha. Gambar dan patung Bunda Maria dibuat menyerupai Kannon dalam agama Buddha, sementara lambang salib dan Bunda Maria yang "asli" diukir di belakang patung atau benda tersembunyi lain.
Para penganut agama Kristen ini juga menyamarkan cara berdoa mereka sehingga menyerupai puji-pujian Buddha dan melakukannya pada tengah malam agar tidak ketahuan. Namun, tradisi ini perlahan-lahan mulai memudar setelah pelarangan agama Kristen dicabut dari Jepang dan berakhir dengan dibangunnya beberapa gereja Katolik di desa yang sebelumnya menjadi tempat tinggal para Kakure Kirishitan. Kini, situs tersebut menjadi salah satu situs warisan dunia di area Nagasaki, Jepang.
Namun, meski pelarangan agama Kristen sudah dicabut, masih ada beberapa orang yang menolak untuk mengikuti jejak para misionaris dan tetap beribadah secara sembunyi-sembunyi layaknya saat agama tersebut dilarang dulu, mereka inilah yang masih disebut sebagai Kakure Kirishitan di masa kini.
Apakah Kakure Kirishitan Masih Ada di Zaman Modern?
Jawabannya masih, setidaknya hingga tahun 2019 lalu. Hal ini dibuktikan dengan wawancara yang dilakukan oleh Reuters dengan Shigenori Murakami (69), seorang Kakure Kirishitan yang terus menjalankan ibadahnya dengan cara yang sama seperti leluhurnya dulu.
Murakami sendiri merupakan seorang chokata (pemimpin) dari grup Kakure Kirishitan lokal di tempatnya tinggal. Sebelum menjadi chokata, ia mempelajari orashō (puji-pujian) dari buku-buku sejarah Kristen yang ia miliki.
Puji-pujian yang dilakukan di Sotome, tempat tinggal Murakami, awalnya dilakukan berupa doa dlam-diam karena takut ketahuan. Namun, sekitar 40 tahun yang lalu, ayah Murakami mulai menyanyikan puji-pujian secara verbal atas permintaan para Kakure Kirishitan lain.
Pada saat itu, kelompok itu memiliki 100 orang anggota. Sementara pada tahun 2019, hanya ada sekitar 50 orng. Menunjukkan makin sedikitnya penganut Kakure Kirishitan di zaman modern.
“Pada saat kakekku memimpin, ada beberapa ratus orang. Namun, kebanyakan anak muda tidak tertarik, bahkan tidak menganut agama Kristen pada umumnya,” ujar Murakami said.
Angka pasti penganut Kakure Kirishitan tidak diketahui hingga kini, tapi sangat terlihat jika jumlahnya makin sedikit.
Shigeo Nakazono, seorang kurator di sebuah museum di Ikitsuki mengatakan kalau jumlah mereka mungkin hanya sekitar 300 orang.
“Masa depan kepercayaan ini akan sulit,” ujar Nakazono, mengingat banyaknya anak muda yang meninggalkan pulau dan kepercayaan mereka.
Meskipun begitu, Murakami mengatakan bahwa ia akan tetap teguh pada tujuannya untuk mempertahankan tradisi sebagaimana yang telah ia lakukan selama ini.
“Aku tidak ingin adanya perubahan dan akan terus melanjutkan yang telah aku lakukan, menghormati apa yang telah diwariskan dari ayahku,” ujar Murakami.
Murakami juga yakin bahwa kepercayaannya tidak akan musnah.
“Aku memang belum memilih pewaris, tapi aku yakin aku bisa berjuang sendirian dan memiliki pewaris suatu saat,” kata dia saat digelar upacara umum antara Kakure Kirishitan, penganut Buddha dan penganut Katolik di Kuil Karematsu di Nagasaki.
“Aku tidak akan membiarkan keturunanku menghancurkan apa yang telah dijaga mati-matian oleh para leluhurku,” ucapnya.
Sumber: