Berita Jepang | Japanesestation.com

Jika kamu hidup di Jepang, kereta akan menjadi bagian besar dari hidupmu, apalagi jika kamu adalah pekerja kantoran. Hampir semua orang di sini bepergian menggunakan kereta ke manapun dan dapat menghabiskan satu hingga dua jam di dalamnya. Nah, di waktu-waktu seperti ini, biasanya dimanfaatkan sebagai “waktu tidur” bagi para penumpangnya. Pemandangan salaryman atau gadis SMA Jepang yang saling bersenderan dan tertidur di kereta bukanlah hal aneh. Terkadang, saking lelahnya mereka kerap melewati stasiun tujuan mereka atau tidak terbangun hingga stasiun tujuan mereka. Saat pertama kali datang ke Jepang, mungkin hal ini terlihat menarik, namun lama kelamaan, bikin penasaran kan? Memangnya, seperti apakah sebenarnya kehidupan di Jepang hingga penduduknya seperti kurang tidur? Dan apakah ada dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari penduduk Jepang? ‘

Mari kita bahas!

Tak Ada Waktu Untuk Istirahat

Jadi, apa yang menyebabkan hal tersebut? Jawabannya, overwork alias kerja berlebihan.

Perusahaan Jepang memang dikenal sering “menekan” pegawainya. Deadline sangat ketat dan hari-hari kerja mereka selalu diisi dengan rapat dan berbagai tugas. Bahkan menurut laporan CNBC, 25% perusahaan Jepang membuat pegawainya kerja lembur selama 80 jam per bulan (dan biasanya mereka tidak dibayar).

Pegawai perusahaan juga sering mengabaikan waktu liburan berbayarnya karena mereka merasa bersalah saat mengambilnya. Kenapa bisa begini? Apakah mereka benar-benar sesetia itu pada perusahaan? Nyatanya tidak, alasannya adalah karena para pegawai biasanya mendapat hukuman disiplin saar menggunakan waktu libur mereka.

Jadwal Ekstrim

Orang Jepang produktif japanesestation.com
Salaryman kurang tidur (pakutaso.com)

Ya, kultur kerja Jepang memang sangat intens dan membuat pegawai tertekan. Hal ini turut dilaporkan oleh Japan Times dengan contoh ekstrim sebagai perantaranya. Artikel yang mereka buat berfokus pada seorang pegawai muda di konbini, Fumiyoshi Shimizu, yang naik jabatan di tempatnya bekerja, SHOP99. Setelah menjadi seorang manajer, jam kerja normalnya (8 jam) jauh bertambah panjang, mencapai 15 jam dan membuat Shimizu tidak memiliki waktu untuk berisitirahat. Pada hari yang buruk, ia bisa bekerja mulai pukul 7:45 pagi dan berakhir keesokan harinya pada pukul  7:32 pagi. Setelah istirahat selama 90 menit, ia kembali bekerja selama 23 jam.

Namun, sebagai seorang manajer, Shimizu dianggap sebagai seorang “eksekutif” dan mendapat uang lembur, itu pun tak seberapa.

Tentunya, Shimizu mengalami kurang tidur.

"Pada hari di mana aku bisa pulang di waktu normal, aku tahu kalau aku harus tidur cepat, namun tidak bisa. Handphone-ku pun menjadi sumber ketakutanku hingga aku sulit tidur," ujarnya.

Tak lama setelah menderita gangguan kesehatan akibat kelalahan, ia pun memutuskan untuk berhenti bekerja.

Pegawai Bermata Merah

Orang Jepang produktif japanesestation.com
Seorang salaryman tertidur di kereta (pakutaso.com)

Lewat cerita Shimizu, terlihat jelas kalau kurang tidur dan bekerja berlebihan sangat berbahaya.

Hal ini pun menjadi masalah besar di negeri sakura itu. Pada tahun 2017, Kementerian Kesahatan, Perburuhan dan Kesejahteraan membuat survei terkait pola tidur seseoang yang menunjukkan bahwa banyak orang dewasa muda mengalami kesulitan tidur dan hampir setengah di antaranya melaporkan bahwa mereka hanya mendapat waktu tidur kurang dari 6 jam.

Bisa dikatakan bahwa para pegawai kurang tidur ini bekerja berlebihan namun membuat produktivitas mereka malah terhambat. Bahkan, menurut data dari OECD, Jepang merupakan negara dengan produktivitas terendah di antara negara G-7.

Karena itu, mungkin sekarang adalah saat yang tepat bagi para pegawai untuk beristirahat dengan beberapa fasilitas untuk tidur, seperti The Nescafe Sleep Cafe yang menawarkan sebuah "rumah" untuk ditinggali selama 30 hingga180 menit

Ternya, seram juga ya efek kurang tidur di Jepang?