Berita Jepang | Japanesestation.com

Mengurus satu anak di zaman sekarang saja sudah merepotkan dan cukup untuk membuat orang Jepang lebih memilih hewan perliharaan dibanding anak, apalagi jika mengurus ratusan anak-anak yatim piatu korban Perang Dunia II kan? Pusingnya ekstra! Namun, itulah yang dilakukan Satayo Ishiwata, seorang “pahlawan” wanita yang mengadopsi lebih dari 100 anak yatim piatu korban Perang Dunia II.

Meski terdengar heroik, kisah Satayo Ishiwata hampir tidak terdengar. Dokumen yang menceritakannya pun tidak terlalu banyak. Hasil interview Mainichi Shimbun bersama salah satu putrinya-lah satu dari sekian jejak yang bisa mendeskripsikannya. Dan begini ceritanya.

Satayo yang meninggal di umurnya yang ke-92 pada tahun 1989 silam ini membesarkan anak-anak yatim korban perang yang terpaksa tidur di bawah jembatan di Stasiun Ueno. Sebelum bertemu dengan Satayo, anak-anak itu mengalami hidup yang sulit, membuat kehadiran Satayo layaknya seorang ibu kandung bagi mereka. Kini, bangunan yang dulunya dipakai untuk merawat ratusan anak yatim tersebut telah berubah menjadi sebuah panti asuhan, dan catatan terbentuknya panti pun masih tersisa di sana.

Setelah menelusuri jejak, Mainichi Shimbun berhasil menemukan titik terang dan akhirnya bisa mengunjungi Hiro Ishiwata (88), putri ketiga Satayo.

perang dunia ii jepang korban perang japanesestation.com
Hiro Ishiwata, putri ketiga Satayo Ishiwata saat mengenang panti asuhan yang dibuat ibunya sambil berdiri di depan lukisan sang ibu di panti asuhan "Aiji no ie" di Distrik Nakano, Tokyo pada 15 Juni 2020. (mainichi.jp)

Satayo mulai merawat anak korban perang pada September 1945.

“Semuanya bermula saat teman ibu saya membawa seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 atau 7 tahun yang terlihat sangat stress dan tak tahu harus pergi ke mana. Ia hanya mengetahui namanya saja,” ujar Hiro mengenang saat fasilitas tersebut, “Aiji no Ie” masih berada di Distrik Nakano, Tokyo.

Pada November 1945, Satayo Ishiwata membangun sebuah organisasi wanita untuk membesarkan anak-anak yatim korban perang yang menjadi pendahulu panti kini. Ia kerap mengunjungi Stasiun Ueno bersama HIro yang saat itu masih berusia 13 tahun dan mengatakan, “Mari lakukan apa yang kita bisa, orang-orang di Jepang sedang mengalami masa sulit.”

Di bawah jembatan remang-remang tersebut, Satayo akan mendekati beberapa anak dan mengajak mereka untuk tinggal di rumahnya. Ia pun akan membawa anak-anak yang ingin ikut untuk tinggal bersamanya serta memberlakukan mereka layaknya keluarga sendiri.

Satayo memiliki pandangan bahwa manusia harus makan karena rasa aman hanya datang setelah perut terisi. Karena itulah saat persediaan makanan menipis, ia akan melakukan apapun. Ia akan menyiramkan air panas ke tepung jagung lalu membagikannya dalam bentuk makanan serupa bubur. Keluarga Ishiwata juga memiliki sebuah bisnis komersil sejak sebelum perang dimulai, dan kabarnya ia menggunakan dana pribadi keluarganya pada awal operasinya. Satayo juga menjual kimono dan perabotan untuk menutupi pengeluaran.

perang dunia ii jepang korban perang japanesestation.com
Foto yang menunjukkan situasi di bawah jembatan Stasiun Ueno pada Januari 1947 (mainichi.jp)

Hiro mengatakan terkadang ada barang yang menghilang dari rumah. Namun, Satayo tidak pernah marah pada anak-anak itu dan selalu menyambut mereka dengan hangat.

Beberapa dokumen dengan sampul bertuliskan "catatan pengasuhan,” “antologi esai kelulusan,” dan beberapa catatan lain juga tersimpan di gudang panti. Meski beberapa telah berubah warna, sangat terlihat dokumen ini dijaga dengan baik.

Di antara beberapa dokumen tersebut ada sebuah data yang kata-kata di dalamnya hampir tak bisa terbaca lagi. File tersebut penuh dengan catatan tangan terkait keluarga 245 orang anak serta latar belakang yang membuat mereka dirawat di panti tersebut. Ternyata, tak semua anak datang karena orang tua mereka meninggal dalam perang, tapi ada juga yang kehilangan orang tua karena penyakit, atau kembali ke Jepang sendiri dari Manchuria.

perang dunia ii jepang korban perang japanesestation.com
Beberapa dokumen yang disimpan di "Aiji no ie" pada 1 September 2020. (mainichi.jp)

Alamat dan tempat kelahiran anak-anak itu pun beraneka ragam, mulai dari Hokkaido hingga Nagasaki di Jepang. Ada juga yang lahir di Taiwan dan Manchuria. Panti asuhan tersebut sangat terkenal di kalangan anak-anak sebagai sebuah rumah yang akan menyambut mereka dengan hangat. Bahkan, beberapa dokumen juga menyebutkan adanya anak-anak yang datang sendiri dari Stasiun Ueno.

Ada juga anak-anak yang sempat berada bersama pasukan sekutu, atau yang telah berpindah-pindah rumah sakit dan panti asuhan. Di antara dokumen tersebut juga ada coretan yang menyebutkan barang-barang milik anak-anak saat datang, seperti uang senilai 1 yen dan 50 sen, serta sepasang celana dan kaos.

perang dunia ii jepang korban perang japanesestation.com
Foto yang menunjukkan situasi di bawah jembatan Stasiun Ueno pada 1946 (mainichi.jp)

Kumpulan data terkait anak yatim korban perang memang sangat jarang ditemukan, Karena itulah data ini disebut-sebut sebagai petunjuk penting dalam mendeskripsikan situasi Jepang setelah perang berakhir. Beberapa peneliti bahkan sempat menerbitkan buku kumpulan catatan anak yatim piatu yang masuk ke dalam panti tersebut hingga 1955 dalam buku berjudul "Aiji no ie archives.” 

Haruo Asai, professor emeritus dari Universitas Rikkyo yang meurpakan ahli dalam masalah anak yatim korban perang dan anggota dari kelompok peneliti tersebut berkomentar, "Biasanya dokumen seperti ini tidak dapat bertahan karena panti-panti direnovasi setelah pertumbuhan ekonomi Jepang. Namun, catatan ini bertahan atas usaha keras Satayo."

"Panti asuhan Satayo mampu bertahan dengan menyebut pantinya sebagai ‘rumah,’ dan seperti namanya, integritas Satayo dapat terasa dari dokumen tersebut. Dokumen ini sangat penting untuk terus diwariskan ke generasi baru,” tutupnya.