Sambungan dari artikel sebelumnya yang berjudul sama, kali ini akan dibahas mengenai sejarah dan lokasi-lokasi di mana ritual mengerikan ini sering dilakukan.
Sejarah
Tak ada yang tahu pasti seberapa tua ritual ini. Di dalam bangunan Nara National Research Institute for Cultural Properties, terdapat sebuah benda bersejarah yang berasal dari abad ke-8, yaitu sebuah boneka jerami dengan paku besi yang tertancap di dadanya. Boneka ini berasal dari jaman di mana besi baru saja diperkenalkan di Jepang, dan masih tergolong sangat langka sehingga masih dianggap logam mulia seperti emas. Dalam reruntuhan Datecho di perfektur Shimane, kota Matsue, para arkeolog menemukan plakat kayu dengan lukisan seorang wanita dengan paku yang tertancap di dadanya. Diketahui bahwa boneka yang digunakan untuk mengutuk dipakai oleh Onmyoji, penyihir yin/yang yang berasal dari jaman Heian (794 - 1185 M).
Meskipun begitu, bepergian ke kuil pada jam Banteng tidak selalu dikaitkan dengan kutukan. Catatan tua menunjukkan bahwa orang-orang pada mulanya menyelinap untuk berdoa, dan menurut kepercayaan, doa yang dipanjatkan pada malam hari di kuil lebih sering dikabulkan oleh roh Kami. Entah bagaimana, doa untuk meminta berkat kepada Kami berubah menjadi doa meminta kutukan.
Salah satu catatan yang tertua datang dari gulungan Pedang dari jaman Kamakura, yaitu puisi berjudul Kisah Heike. Dalam gulungan itu dituliskan bahwa kostum yang dikenakan cukup berbeda, di mana rambut pelaku harus dikepang 5, menggunakan ranting pohon pinus yang diikat menggunakan cincin besi sebagai obor, dan mewarnai wajah menggunakan tanah liat merah. Dan juga, sang pelaku harus lari di tengah jalan sambil meneriakkan kutukannya agar bisa didengar orang. Menurut cerita, ritual itu diajarkan oleh roh Kami kepada seorang wanita yang berdoa meminta pembalasan dendam. Wanita itu kemudian berubah menjadi monster Hashi Hime (putri jembatan), dan masih mengenakan kostumnya yang mengerikan (lihat ilustrasi di atas).
Pada jaman Muromachi (1337 - 1573 M), sebuah drama Noh (drama musikal, di mana pemainnya mengenakan topeng) berjudul Kanawa (鉄輪; Cincin Besi) diduga sebagai penarik hubungan antara ritual boneka Onmyodo dan kostum Hashi Hime.
Di jaman Edo, ritual Ushi no Koku Mairi pelan-pelan mulai sering diilustrasikan oleh pelukis-pelukis dan masuk kategori kaidan-shu. Tapi hal yang lain yang digambarkan oleh para pelukis jaman Edo adalah hasil ritualnya -digambarkan ada roh jahat atau dewa yang berkeliaran di latar belakang, menunggu untuk dipanggil saat ritual selesai.
Tempat Ritual
Tidak semua kuil dapat menjadi tempat melaksanakan Ushi no Koku Mairi. Kifune Jinja di Kyoto dan Ikurei Jinja di Niimi, Okayama, adalah lokasi ritual Ushi no Koku Mairi yang paling populer. Juga Jishu Jinja, sebuah kuil kecil terletak di dekat kuil Buddha Kyoto, Kiyomizudera. Jika kalian melihat dengan seksama, pohon-pohon keramat yang ada dalam kuil ini, kalian akan melihat bekas paku yang ditancapkan oleh orang-orang yang mencari pembalasan dari dendam mereka ratusan tahun yang lalu.
Dan bagi orang-orang yang tidak mau repot, ada yang menjual peralatan ritual Ushi no Koku Mairi secara online. Tapi ingat, pelaku Ushi no Koku Mairi akan dituntut sesuai hukum yang berlaku di Jepang.Boleh percaya boleh tidak, tetapi ritual ini nyata dan banyak orang yang melakukannya pada masa lampau.
Artikel ini semata-mata hanya untuk berbagi pengetahuan mengenai budaya Jepang termasuk ritualnya, dan artikel ini tidak dapat digunakan sebagai referensi resmi dan layak mengenai ritual tradisional Jepang, apapun bentuknya.
Source: hyakumonogatari.com