73 tahun lalu Amerika dan Jepang berperang di pulau Okinawa dari tanggal 1 April hingga 22 Juni 1945 dan meninggalkan luka yang mendalam bagi rakyat Jepang khususnya Okinawa. Lebih dari 200.000 orang meninggal dalam pertarungan ini dan menjadikan pertempuran Okinawa sebagai pertempuran paling berdarah di tanah Jepang.
Pertempuran Okinawa adalah pertempuran besar terakhir pada Perang Dunia II, dan salah satu yang paling berdarah. Pada tanggal 1 April 1945, Armada Kelima Angkatan Laut dan lebih dari 180.000 Angkatan Darat AS dan pasukan Korps Marinir AS datang di pulau Pasifik Okinawa untuk serangan terakhir terhadap Jepang. Invasi itu adalah bagian dari Operasi Gunung Es, sebuah rencana kompleks untuk menyerang dan menduduki Kepulauan Ryukyu, termasuk Okinawa.
Pasukan darat Jepang mengarahkan 67.000 tentara reguler dan sekitar 9.000 tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN) di pangkalan angkatan laut Oroku, serta didukung oleh 39.000 orang Okinawa lokal yang direkrut ikut berperang dalam pertempuran ini. Jepang menggunakan taktik kamikaze sejak Pertempuran di Teluk Leyte dan menjadi bagian utama pertahanan. Saat Amerika mendarat pada 1 April dan 25 Mei, tujuh serangan kamikaze besar dicoba dan melibatkan lebih dari 1.500 pesawat.
Para pelaut Amerika berusaha mati-matian untuk menembak jatuh mereka tetapi banyak dari mereka yang gagal dan mengakibatkan 36 kapal tenggelam, 368 kapal rusak, 4.900 orang terbunuh atau tenggelam, 4.800 orang terluka, dan 763 pesawat hilang.
Di pulau Okinawa, anak-anak laki-laki SMP diorganisasikan ke dalam layanan garis depan Tekketsu Kinnōtai, sementara murid perempuan Himeyuri diorganisasi menjadi unit perawat. Tentara Kekaisaran Jepang memobilisasi 1.780 anak-anak sekolah menengah yang berusia 14–17 tahun ke layanan garis depan. Mereka diberi nama "Tekketsu Kinnōtai" ( 鉄 血 勤 皇 隊, Iron and Blood Imperial Corps). Pihak militer memerintahkan sekolah-sekolah untuk memaksa hampir semua siswa "sukarelawan" sebagai tentara. Terkadang mereka memalsukan dokumen yang diperlukan. Sekitar setengah dari Tekketsu Kinnōtai terbunuh, termasuk dalam serangan bom bunuh diri terhadap tank, dan dalam operasi gerilya.
Sebagian besar tentara Jepang dan warga Okinawa percaya bahwa Amerika tidak mengambil tahanan dan mereka akan dibunuh di tempat jika tertangkap. Akibatnya, banyak orang Jepang yang mengambil nyawa mereka sendiri. Sekitar 7.000 serdadu Jepang menyerah, tetapi banyak yang memilih mati dengan cara bunuh diri. Beberapa dari mereka melompat dari bukit yang tinggi, dan ada juga yang meledakkan diri dengan granat. Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa melanjutkan pertempuran adalah hal yang sia-sia, Jenderal Ushijima dan Kepala Stafnya, Jenderal Cho, melakukan ritual bunuh diri pada 22 Juni, dan secara otomatis dianggap sebagai akhir dari Pertempuran Okinawa.
Pada tahun 1995, pemerintah Okinawa mendirikan monumen peringatan bernama Cornerstone of Peace di Mabuni, tempat pertempuran terakhir di Okinawa tenggara. Tugu peringatan itu mencantumkan semua nama yang tewas dalam pertempuran, baik warga sipil maupun militer, baik Jepang maupun asing. 58 nama orang yang tewas dalam perang, baru saja ditorehkan di Cornerstone of Peace pada tahun 2018 ini, sehingga totalnya menjadi 241.525 korban jiwa.
(featured image: Asia Pasific Journal)