Berita Jepang | Japanesestation.com

Pada tahun 2020 silam, Kelompok Kerja PBB terhadap Penahanan Sewenang-wenang yang berada di bawah Komisi Hak Asasi Manusia PBB, melontarkan kritik pedas terhadap sistem suaka Jepang. Mereka mendesak pemerintah Jepang meninjau perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan jangka panjang yang sebagian besar mencari suaka. Tak hanya itu, mereka juga menyinggung masalah sistem penyaringan pengungsi di Jepang yang ketat.

Ya, masalah sistem pengungsi dan suaka di Jepang memang kerap menjadi permasalahan.

pengungsi dan suaka di Jepang japanesestation.com
Demo menuntut pemerintah Jepang terkait sistem pengungsi dan suaka di Jepang (Reuters)

Melansir tulisan Hirotaka Fujibayashi di situs East Asia Forum, sepanjang pemerintahan mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe, imigrasi menjadi sebuah masalah politik penting. Perdebatan politik tentang imigrasi terus berkembang pesat. Tujuan Abe dalam meningkatkan pekerja asing 'semi-terampil', bukan 'imigran' pun mengarah pada reformasi undang-undang imigrasi nasional Jepang tahun 2018, Undang-Undang Pengawasan Imigrasi dan Pengungsi (ICRRA). Serangkaian debat politik pun terjadi, mencerminkan adanya pergeseran signifikan dari perlawanan jangka panjang negara tersebut terhadap imigrasi.

Padahal dalam kenyataannya, kontras dengan reformasi kebijakan imigrasi baru-baru ini, masih tak ada perubahan substantif pada kebijakan pengungsi dan suaka di Jepang.

Menurut Kementerian Kehakiman Jepang (MOJ), status pengungsi hanya diberikan kepada 44 dari 10.375 aplikasi suaka pada tahun 2019. Artinya, tingkat pengakuan tahunan hanya sebesar 0,42 persen saja. Dan sejak 2012, tingkat keberhasilan permohonan suaka tetap di bawah 1 persen. Akibatnya, Jepang dikritik karena jumlah pengungsi yang sangat terbatas.

pengungsi dan suaka di Jepang japanesestation.com
Wanita Afghanistan mengikuti pembelajaran di sebuah sekolah bagi pencari suaka Afghanistan yang dibuat oleh sebuah NGO Jepang pada 10 November 2001 di Quetta, Pakistan. (Spencer Platt/Getty Images)

Banyak ahli, pengacara, ilmuwan, dan agensi pelindung pengungsi meminta Jepang menerima lebih banyak pengungsi dan bertanggung jawab terhadap pencari suaka sebagai negara dengan tingkat ekonomi terbesar ketiga di dunia. Pengungsu dan pencari suaka sendiri dapat membantu Jepang mengurangi penurunan angka tenaga kerja akibat populasi yang terus menua. Sayangnya, hingga kini tak ada indikasi bahwa pemerintah Jepang akan menambah masuknya jumlah pengungsi ke Jepang. Malahan, Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa di Jepang makin memperketat sistem terkait pengungsian.

Pada September 2015 dan Januari 2018 lalu, pemerintah pun membuat amandemen kode operasional MOJ untuk mempercepat proses penyaringan pengungsi dan menangani meningkatnya permintaan suaka dari pengungsi “palsu.” Setelah kematian pencari suaka yang ditahan karena mogok makan pada tahun 2019, pemerintah juga membentuk panel untuk membahas kemungkinan amandemen ICRRA demi menegakkan penahanan dan deportasi lebih lanjut. Tentu saja banyak yang khawtir bahwa hal ini hanya akan memperburuk perlakuan Jepang terhadap pencari suaka di pusat penahanan dan makin melanggar hukum hak asasi manusia internasional kan?

Nah, kini jumlah pencari suaka yang diberi 'perlindungan tambahan' di luar cakupan Konvensi Pengungsi 1951 terus menurun. MOJ dapat mengeluarkan izin tinggal khusus untuk beberapa pencari suaka yang tidak diberikan status pengungsi tetapi masih membutuhkan perlindungan atas dasar kemanusiaan dan mantan pemerintah Partai Demokrat Jepang (DPJ) tahun 2009 hingga 2012 menggunakan sistem ini dengan lebih fleksibel. Namun setelah LDP kembali berkuasa pada tahun 2012, penerbitan visa kemanusiaan diperketat. Kini, jumlah pengungsi dan pencari suaka dengan izin khusus tersebut jauh lebih kecil daripada jumlah yang dikeluarkan di bawah DPJ, menunjukkan bahwa sistem penyaringan pengungsi Jepang diperketat di bawah kuasa LDP.

pengungsi dan suaka di Jepang japanesestation.com
Wanita Kurdi menari saat perayaan Nowruz pada 24 Maret 2018 di Tokyo, Jepang dimana 2000 orang Kurdi tinggal. Mayoritas dari mereka mengklaim status pengungsian akibat pelanggaran HAM di Turki dan Iraq. (Carl Court/Getty Images)

Pemerintah Jepang sendiri telah berulang kali menjelaskan bahwa program penyaringan pengungsi di bawah ICRRA sejalan dengan Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan perjanjian hak asasi manusia lainnya yang telah disetujui oleh Jepang. Pemerintah Jepang juga menggunakan penjelasan tersebut untuk melegitimasi sistem pengakuan pengungsi negara tersebut ketika menanggapi kritik PBB pada tahun 2020.

Namun, memang tak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa alasan di balik sangat terbatasnya penerimaan pengungsi ke Jepang, misalnya terkait semakin banyaknya aplikasi palsu status pengungsi. Kendati demikian, pemerintah Jepang juga harus mempertimbangkan kembali bagaimana hal itu dapat meningkatkan dan memperluas perlindungan pengungsi asli. Sayangnya, pendekatan ini belum ada dalam kinerja pemerintah saat ini.

Insiden pada tahun lalu tersebut bukan kali pertama Jepang menghadapi kritik internasional atas kebijakan pengungsi meski pemerintah perlu menanggapi kritik PBB dengan lebih serius dan harus segera mengambil tindakan untuk meninjau beberapa tindakan penyaringan pengungsi.

Meski belum jelas apakah di pemerintahan Yoshihide Suga kini hal ini bisa ditangani, hal terakhir yang bisa kita lakukan hanya berharap agar pemerintah Jepang cepat “sadar” kan?  Jadi, berdoa saja!

Sumber:

East Asia Forum

Insider