Sebanyak 163 perusahaan di Jepang dilaporkan bangkrut akibat kekurangan tenaga kerja. Menurut survei yang dilakukan oleh Teikoku Databank, kurangnya tenaga kerja disebabkan oleh beberapa faktor seperti pergantian karyawan dan kesulitan mempekerjakan staf. Ini merupakan rekor tertinggi pada paruh pertama tahun fiskal 2024.
Dilansir melalui Mainichi, jumlah perusahaan yang gulung tikar pada paruh pertama fiskal 2024 telah melebihi paruh fiskal 2023. Fenomena kurangnya tenaga kerja setelah pandemi berhasil memberikan dampak serius pada manajemen perusahaan.
Sebanyak 55 perusahaan konstruksi bangkrut sepanjang April hingga September 2024 dan 19 perusahaan logistik bangkrut pada paruh pertama. Pembatasan lembur yang ketat untuk pengemudi truk membuat kedua perusahaan ini menyumbang hampir setengah dari total kasus kebangkrutan akibat kurangnya tenaga kerja.
Perusahaan di bidang kuliner juga mengalami kebangkrutan, naik dari dua di tahun fiskal 2023 menjadi sembilan di tahun fiskal 2024. Perusahaan kecil dengan karyawan kurang dari sepuluh orang menjadi 80% perusahaan yang dilaporkan bangkrut dengan total 134 kasus.
Perdana menteri Jepang yang baru, Shigeru Ishiba, berjanji akan mewujudkan kenaikan upah untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan mitigasi kekurangan pekerja. Ishiba juga menuturkan akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik bagi usaha kecil dan menengah untuk meningkatkan upah.
Menurut Kaitaro Asahi, wakil direktur divisi manajemen informasi Teikoku Databank, kunci untuk meningkatkan upah adalah penghasilan perusahaan yang baik dalam bisnis inti. “Perusahaan besar bisa memanfaatkan cadangan internal mereka, tapi itu tidak akan terjadi pada usaha kecil dan menengah,” ujarnya. Pemerintah lebih baik mendukung perusahaan untuk mendapatkan penghasilan yang baik bagi bisnis inti daripada memberikan subsidi.