Berita Jepang | Japanesestation.com

Bagi sebagian orang, mungkin hukuman mati terasa kejam dan tidak berperikemanusiaan, namun nyatanya, hal ini legal dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Jepang. Jika di Indonesia hukuman mati diberikan kepada pengedar narkoba, teroris, dan pelaku pembunuhan berencana dengan cara ditembak mati, Jepang memberlakukan hukuman mati hanya pada pelaku pembunuhan saja dan biasanya dilakukan dengan cara menggantung terdakwa. Hingga kini, hukuman mati di Jepang ini selalu menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Nah, apa yang menyebabkan hal ini? Mari simak penjelasannya!

Hukuman mati di Jepang sendiri sebenarnya telah berjalan dari beratus-ratus tahun lalu, sekitar abad ke-4. Sistem ini sempat memudar dan akhirnya hilang saat zaman Heian, meskipun kembali bangkit pada Pemberontakan Hougen. Sistem eksekusi juga diberlakukan saat era Kamakura. Di era ini, hukuman mati berlangsung dengan sangat sadis, terdakwa bisa saja dihukum mati dengan dibakar, atau disalib. Hukuman sadis ini pun berlangsung hingga era Muromachi, terdakwa disalib terbalik, dibelah tubuhnya dengan gergaji, dimutilasi, atau ditusuk dengan tombak. Kekejaman hukuman mati Jepang terus berlanjut hingga zaman Edo dan awal zaman Meiji, hingga akhirnya pada tahun 1873, muncul aturan baru di mana hukuman mati hanya boleh dilakukan dengan cara digantung, yang berlangsung hingga kini.

Hukuman mati Jepang japanesestation.com
Tokyo Detention House (wikipedia.org)

Kini, para terdakwa hukuman mati dipenjara dalam pusat penahanan Tokyo, Osaka, Nagoya, Sendai, Fukuoka, Hiroshima dan Sapporo. Mereka yang menerima hukuman mati ini tidak dianggap sebagai tahanan secara sistem hukum Jepang, Aturan yang mereka terima saat ditahan memang berbeda-beda, tergantung pimpinan pusat penahanan, meski biasanya jauh lebih kejam dibanding dalam penjara biasa. Biasanya, para terdakwa hukuman mati ditempatkan diisoliasi dalam sel sendirian dan tidak boleh berkomunikasi dengan sesama tahanan. Meskipun begitu, mereka diperbolehkan untuk berolahraga 2 kali dalam seminggu dan boleh memiliki 3 buku bacaan. Kunjungan keluarga pun sangat dibatasi dan diawasi penuh.

Eksekusi

Ilustrasi tali untuk menggantung terdakwa (theweek.in)

Seperti sudah disebutkan di atas, hukuman mati di Jepang dilakukan dengan cara menggantung terdakwa di ruang eksekusi di pusat penahanan. Saat perintah eksekusi dikeluarkan, para tahanan akan diberi info pada pagi harinya terkait waktu eksekusi dan diminta memilih makanan terakhir mereka. Keluarga mereka pun akan dihubungi kemudian.

Perdebatan

Hukuman mati Jepang japanesestation.com
Ruang eksekusi hukuman mati Jepang (nypost.com)

Umumnya, masyarakat Jepang mendukung adanya hukuman mati. Hasil survei pada tahun 2015 pun menunjukkan kalau sekitar 80,3% masyarakat percaya bahwa hukuman mati “diizinkan” dan pada suatu sidang di tahun 2013, seorang jaksa menunjukkan sebuah petisi berisi 76.000 tanda tangan yang menyetujui hukuman mati.

Kontra malah datang dari luar Jepang, yaitu Amnesty International. Mereka mengatakan bahwa sistem hukum Jepang hanya memusatkan perhatian pada pengakuan. Selain itu, mereka juga melaporkan adanya penyiksaan pada terdakwa selama interogasi dan kekerasan fisik. Para terdakwa juga diklaim kesulitan tidur dan kurangnya makanan, air, dan penggunaan toilet. Salah satu kritik terbesar yang diklaim Amnesty International adalah para terdakwa yang diminta untuk menunggu bertahun-tahun sebelum diberi info tentang tanggal eksekusi mereka, jadi mereka manderita karena tidak mengetahui kapan ahri terakhir mereka hidup yang akhirnya menyebabkan stress pada terdakwa.

Selain Amnesty International, Asosiasi Pengacara Jepang pun meminta agar hukuman mati dihapuskan dari Jepang.

Meskipun begitu, masih banyak yang mendukung pelaksanaan hukuman mati di Jepang. Pada tahun 2003 misalnya, seorang warga Jepang menulis dalam Yomiuri Shimbun:

"Aku percaya bahwa eksekusi adalah cara terbaik untuk menghukum para pembunuh. Meski opiniku konroversial, aku ingin melihat para pembunuh mati tanpa memandang umur, jenis kelamin, dan asal negara,” tulis orang yang bernama Hajime Ishi tersebut.

Ada juga Fumiko Isogai, seorang wanita yang membuat sebuah petisi untuk menghukum mati tga pembunuh putrinya. Petisi tersebut ditandatangani sekitar 318.000 penduduk Jepang pada Desember 2008. Kedua hal ini membuktikan bahwa hukuman mati masih dianggap lazim dan pantas bagi para kriminal di Jepang.

Pro-kontra ini terus berlanjut hingga kini, seakan tidak ada habisnya. Nah, bagaimana menurutmu? Apakah kamu setuju dengan adanya hukuman mati di Jepang?

Sumber:

Washington Post

Wikipedia

Japan Today