Berita Jepang | Japanesestation.com

Kementerian Pendidikan Jepang tampaknya harus bekerja lebih keras lagi untuk menghentikan kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah. Tahun 2017 silam 226 guru sekolah umum beserta staf pengajar lainnya di Jepang pernah didisiplinkan dan diberi pengarahan karena melakukan pelecehan termasuk penganiayaan pada tahun 2016, dimana 129 di antaranya dipecat dari pekerjaan mereka.

Baru-baru ini, dilansir dari Vice, saat semester baru dimulai pada minggu lalu, siswa tahun pertama di sekolah menengah Yamato, di prefektur barat daya Saga, diminta untuk berbaris memeriksa siswa telah mengenakan pakaian dalam seperti yang sesuai dengan persyaratan atau tidak. Guru dengan jenis kelamin yang sama berada di barisan, meminta siswa perempuan untuk mengangkat baju mereka beberapa sentimeter, sementara murid laki-laki membuka kancing baju mereka.

Praktek ini sudah jadi hal lumrah di sekolah-sekolah di Jepang, namun siswa dan orang tua justru semakin menentang, di antara peraturan ketat lainnya untuk siswa, yang dikenal sebagai buraku kosoku. Pada hari Jumat, menyusul laporan berita yang mengungkap bagaimana sekolah memeriksa pakaian dalam siswanya, kepala sekolah Kenji Koga meminta maaf kepada para siswa dan mengirim surat permintaan maaf kepada wali mereka.

Foto Gadis Sekolah Jepang
Foto gadis sekolah di pedesaan Jepang yang diambil oleh Shinnosuke Uchida (soranews24.com)

“Saya mengerti kami membuat banyak orang merasa tidak nyaman, dan kami tidak menunjukkan perillaku yang cukup untuk hak individu dan privasi setiap siswa. Itu tidak pantas,” ujarnya kepada VICE World News.

Dewan pendidikan kota Saga, tempat sekolah menengah Yamato berada, menerima keluhan menyusul laporan berita lokal tentang praktik sekolah yang memicu liputan dan debat nasional. “Para petugas, serta penduduk kota, telah menelepon untuk mengatakan bahwa memeriksa pakaian ini adalah contoh pelecehan kekuasaan dan seksual. Ini adalah contoh pelanggaran hak individu siswa, dan kami telah menyarankan sekolah untuk segera menghentikan metode tersebut,” Katsuo Yonekura, perwakilan dewan, mengatakan kepada VICE World News.

Setelah meminta maaf secara terbuka, Koga mengatakan sekolah telah menangguhkan pemeriksaan pakaian dalam. Selama tahun 70-an dan 80-an, buraku kosoku diperkenalkan untuk mengekang meningkatnya kasus kekerasan dan intimidasi siswa. Namun bahkan setelah pelanggaran dijatuhkan, banyak yang tetap memberlakukan peraturan tersebut. Aturan dapat menentukan panjang rambut siswa, warna kaus kaki dan pakaian dalam, dan panjang seragam. Penjelasan untuk peraturan ketat tersebut dapat bervariasi, mulai dari menghormati tradisi hingga masalah kesehatan siswa, seperti di sekolah menengah Yamato.

Pemeriksaan tesebut untuk melihat apakah siswa mengikuti aturan kaos tidak sering dilakukan, kata Koga. Siswa tahun kedua dan ketiga jarang menjalani pemeriksaan karena dianggap mengetahui aturan, tetapi siswa tahun pertama, banyak dari mereka yang tidak pernah mengenakan seragam sebelum masuk SMP, lebih cenderung melanggar aturan, katanya.

“Biasanya siswi diminta untuk mengangkat bajunya sekitar satu sampai dua sentimeter, tapi terkadang itu tidak cukup untuk benar-benar dilihat. Kami mendapat keluhan bahwa beberapa siswa diminta untuk mengangkat baju mereka lebih tinggi, yang sangat disayangkan,” katanya.

Koga menambahkan, “Beberapa aturan perlu diubah. Kami tidak harus diatur dengan cara tradisi kami, dan kami ingin memastikan lingkungan pendidikan memenuhi kebutuhan generasi ini.”

Sekolah menengah Yamato mengadakan pertemuan dewan siswa setiap bulan Oktober hingga November, di mana siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan apa pun yang mereka miliki tentang peraturan sekolah lainnya. Menurut Koga, begitulah cara pembatasan panjang poni rambut dicabut.

Jika para siswa bertanya, Koga mengatakan dia terbuka untuk mencabut aturan pakaian dalam sepenuhnya.