Berawal dari kasus pelecehan seksual yang terjadi pada tahun 2015 dimana seorang gadis SMA bernama Takako (nama samaran) yang menjadi korban Chikan (pelecehan seksual di kereta) selama beberapa kali. Kedua orang tua korban mulai mengkampanyekan ‘crownfunding’ dengan mencari dana melalui pin anti-chikan untuk para perempuan dengan menyematkannya di sekitar pakaian atau tas sebagai antisipasi ketika mereka mengalami perlakuan tidak senonoh saat naik kereta.
Bermula dari hal itu, kemudian sebuah organisasi yang biasa disebut dengan Molester Deterrence Activity Center menyelenggarakan kontes desain lencana anti-Chikan yang diadakan setiap tahun.
Pihak Center baru saja mengumumkan pemenang dari kontes desain yang diadakan tahun ini dengan total 581 desain yang didaftarkan oleh siswa dari 126 sekolah berbeda di seluruh Jepang.
Dari banyaknya kontestan, akhirnya juri memutuskan juara pertama untuk lomba desain tahun ini dimenangkan oleh seorang Siswa Menengah asal Prefektur Sadowara Miyazaki bernama Shota. Melalui desain yang dibuatnya, shota menyampaikan dua kalimat bertema penolakan kejahatan seksual di kereta yang berbunyi “Meraba adalah Kejahatan” dan “Kami Tidak Akan Diam”.
Desain Shota yang digambarkan oleh salah satu hewan lucu berang-berang memiliki arti lain yang lebih luas seperti, “meskipun kamu imut, kamu tidak akan dimaafkan” berang-berang digambarkan sedang mencoba untuk mengangkat rok siswi tersebut dimaksudkan bahwa “tak peduli siapa pun pelaku tersebut, meraba-raba itu salah”.
Selain Shota, para juri juga memberikan penghargaan kepada dua desain lainnya yakni Feriko dari Universitas Seni Musashino dengan desain berbunyi “No!!!” atau tidak dengan gambar seorang perempuan berseragam dan Hideto Mori dari Niigata College of Art and Design dengan desain lencana lensa kamera.
Pilihan juri yang spesial juga diberikan kepada dua desain menarik lainnya. Hadiah tersebut diberikan kepada Komoko dari Chugoku Design Colleges dengan desain lencana yang mengingatkan para Chikan bahwa rekaman kamera pengawas dapat membantu para korban dalam investigasi kasusnya. Pilihan yang kedua jatuh pada Miki Hatoko dari Osaka Information and Computer Science Colleges yang membuat desain dengan makna tindakan pelecehan (meraba-raba) adalah tindakan tercela yang bahkan para kelompok binatang pun jijik karenanya.
Pada praktiknya, tindakan tak terpuji ini sangat ditentang dan tidak dilegakan di Jepang namun tak sedikit juga yang memandang skeptis tentang hal ini terutapa pada gebrakan lencana yang dibuat dengan tujuan membantu para wanita atau korban untuk melindungi diri.
Seorang pakar kesehatan mental Akira Saito mengatakan, ia percaya simbol yang digunakan dapat efektif untuk mencegah kejahatan seksual yang biasa disebut dengan Chikan ini. Ia juga mengatakan telah terlibat dengan beberapa pelanggar dan mengetahui sejauh mana dan apa target sebenarnya yang ada di benak pelaku.
“Saya telah terlibat treatment lebih dari 2.000 pelanggar seks” katanya,
“dalam satu wawancara distorsi kognitif mereka (pelaku), mereka menargetkan para gadis-gadis tingkat SMP dan SMA bukan hanya karena menyukai secara fisik (penampilan sekolah) namun karena mereka melihat seragam sebagai simbol yang dimaknai sebagai ketaatan” jelas Saito.
Saito juga telah menganalisis mengenai orang-orang yang melihat para wanita yang memakai lencana anti-Chikan dapat menghalangi niatnya untuk melakukan kejahatan seksual.
“Saya telah bertanya kepada orang-orang yang saya perlukan bagaimana mereka akan beraksi ketika melihat lenvana (anti-chikan) dan banyak dari mereka merespon ‘saya mungki tidak akan mencoba meraba-raba orang itu” kata Saito.