Berita Jepang | Japanesestation.com

Orang Korea Zainichi, atau lebih sering disingkat Zainichi (在日) saja, adalah penduduk permanen Jepang yang beretnis Korea. Sebutan Korea Zainichi hanya mengacu kepada penduduk permanen jangka panjang di Jepang, yang tetap mempertahankan kebangsaan Joseon (negara Korea lama sebelum terbagi) atau Korea Selatan mereka. Jaeho Yoo, seorang pria Korea Zainichi berusia 23 tahun yang baru saja lulus dari Universitas Komazawa, membutuhkan hampir satu tahun untuk mengubah nama alias Jepang-nya di kartu identitas mahasiswa dan semua dokumen resmi menjadi nama resmi Korea-nya. 

komazawa university jepang zainichi
Komazawa University (mainichi.jp)

Yoo pernah menandatangani dokumen di perguruan tinggi yang menyatakan bahwa sekolah "Tidak akan menyetujui perubahan dari penggunaan nama alias menjadi nama resmi selama di perguruan tinggi." Hampir setahun kemudian, setelah negosiasi dengan sekolah, Yoo akhirnya bisa mengubah namanya di semua catatan universitas menjadi nama Korea-nya. “Fakta bahwa membutuhkan waktu dan energi sebanyak ini membuat saya merasa martabat saya sebagai warga negara Korea Zainichi sedang diinjak-injak,” katanya kepada Mainichi Shimbun.

Yoo masuk Universitas Komazawa pada bulan April 2016. Setelah menyerahkan semua dokumen terkait pendaftaran dalam nama alias Jepang-nya, kantor registrasi melihat bahwa nama tersebut berbeda dengan yang sah, dan mendesak Yoo untuk mengajukan izin untuk menggunakan alias Jepangnya; ia menandatangani dokumen itu dan mencap segel di atasnya. Ketentuan dalam pamflet untuk mahasiswa baru tahun akademik 2021 yang akan datang menyatakan, "Mereka yang memiliki kewarganegaraan asing yang ingin menggunakan alias yang tercatat dalam daftar penduduk harus menyerahkan pemberitahuan yang menunjukkan hal itu ke sekolah setelah pendaftaran." Laporan yang diajukan Yoo mencakup dua baris berikut:

"Mahaiswa akan menggunakan alias mereka secara konsisten sepanjang waktu mereka bersekolah, dan universitas tidak akan menyetujui perubahan dari penggunaan alias menjadi nama resmi selama di perguruan tinggi."

"Bahkan jika penggunaan nama lain merugikan mahasiswa, perguruan tinggi tidak akan bertanggung jawab."

Yoo bersekolah di sekolah Jepang sampai sekolah menengah, dan telah menggunakan alias Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Ia merasa ragu untuk mengungkapkan nama resmi kepada teman-temannya, dan terkadang merasa frustrasi karenanya. Ia berencana untuk mulai hidup dengan nama resmin di perguruan tinggi. Namun, itu bukan karena ia menolak nama Jepang-nya, ia pikir tidak masalah jika menggunakan nama alias pada dokumen resmi. 


Tetapi Yoo merasa nama aslinya benar-benar mewakili siapa dirinya. Ia bergabung dengan kelompok Zainichi Korea di kampus dan mempelajari sejarah penjajahan Jepang di Semenanjung Korea dan Zainichi warga Korea di Jepang. Ia mengembangkan keinginan untuk hidup bangga sebagai pria Korea. Menyakitkan baginya untuk membawa kartu identitas dengan nama Jepang di atasnya.


Pada Mei 2017, Yoo mengatakan kepada kantor registrasi universitas bahwa dia ingin mengubah nama pada identitas siswa menjadi nama resminya, tetapi ia diberitahu bahwa perubahan itu tidak memungkinkan. Ia juga berkonsultasi dengan kantor konseling mahasiswa di universitas tersebut, tetapi diberi tahu bahwa mereka tidak dapat menanggapi masalah etnis.

Tidak ingin menyerah, pada bulan Juli di tahun yang sama, Yoo meminta nasihat dari profesor yang bertanggung jawab atas kelas seminar dan profesor Zainichi Korea yang mengajar bahasa Korea. Dengan profesor yang bekerja sebagai perantara, Yoo mengadakan pertemuan dengan wakil kepala institusi pada bulan Oktober. Alhasil, pihak universitas meminta Yoo menggunakan nama aslinya. April 2018, universitas mengizinkan perubahan nama dari alias Jepangnya menjadi nama resmi Korea di kartu identitas mahasiswa dan semua dokumen lainnya. Saat itu, 11 bulan telah berlalu semenjak Yoo memberi tahu universitas bahwa ia ingin merubah nama.

Ada universitas lain di Jepang yang mengharuskan siswanya menyerahkan dokumen menggunakan nama alias. Tidak hanya untuk mereka yang berkebangsaan non-Jepang, tetapi juga bagi mereka yang tidak nyaman dengan jenis kelamin, atau yang nama belakangnya telah berubah karena pernikahan selama mereka di perguruan tinggi.

Seorang pejabat di divisi bantuan mahasiswa Universitas Kyushu berkata, "Karena nama alias digunakan dalam banyak dokumen yang dibuat oleh universitas, kami meminta siswa mengirimkan dokumen terkait penggunaan alias mereka untuk mencegah kebingungan." Perbedaan antara Universitas Kyushu dan Universitas Komazawa, adalah bahwa di Universitas Kyushu siswa dapat mengajukan penghentian penggunaan alias mereka. Pejabat universitas tersebut berkata, "Sistemnya diatur sehingga ketika seorang siswa memutuskan mereka ingin berhenti menggunakan alias mereka, mereka dapat melakukannya melalui proses yang lancar." Tokyo Metropolitan University dan universitas lain memiliki pengaturan serupa. Sementara menurut Universitas Komazawa, tidak ada sistem penghentian nama alias, dan mahasiswa yang telah mengajukan untuk menggunakan alias mereka.

"Memutuskan nama yang menentukan identitas seseorang dijamin oleh Konstitusi Jepang sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri," komentar Shiro Terakawa, seorang profesor hukum konstitusional di Universitas Ryukoku. Ia kemudian mengkritik penanganan Universitas Komazawa atas kasus Yoo, dengan mengatakan, "Saya tidak akan mengkritik penetapan aturan sampai batas tertentu untuk mencegah kebingungan, tetapi aturan untuk 'tidak mengizinkan perubahan selama menempuh pendidikan' mungkin dapat membatasi hak siswa dan harus dinilai kembali. "

Noriko Ijichi, seorang profesor sosiologi di Universitas Kota Osaka yang sangat mengerti penggunaan alias Jepang oleh Zainichi Korea berkata, "Bahkan setelah berakhirnya Perang Dunia II, diskriminasi dalam masyarakat Jepang belum dapat diatasi secara mendasar, dan terus terjadi situasi di mana Zainichi Korea dipaksa untuk menggunakan alias Jepang mereka seolah-olah kebijakan soshi-kaimei masih berlangsung. "

Soshi-kaimei, yang mengharuskan orang Korea untuk mengadopsi nama-nama Jepang, mulai berlaku di Semenanjung Korea di bawah pemerintahan Jepang pada tahun 1940. Ichiji berkata, "Ini sama dengan pihak yang bersalah (penjajah), memaksa korban untuk mengatakan, 'Saya salah.' Ini pelanggaran hak asasi manusia dan keterlaluan. "

Mengenai penggunaan nama resmi Korea oleh Zainichi Korea, Dewan Pendidikan Prefektur Osaka mengakui bahwa "Nama adalah faktor pembentukan identitas siswa," dan mendesak untuk "Melakukan upaya untuk meningkatkan kebanggaan dan kesadaran diri siswa, dan membimbing mereka sehingga mereka dapat menggunakan nama asli mereka." Ijichi menjelaskan, "Ketika siswa Korea Zainichi membuat pilihan untuk hidup dengan cara yang mereka bisa banggakan, adalah misi lembaga pendidikan untuk menghormati pilihan itu."

"Saya rasa banyak mahasiswa Korea yang ingin memahami siapa diri mereka. Saya ingin belajar tentang asal-usul kita bersama, dan mendukung mereka agar bisa terus hidup percaya diri sebagai orang Korea." ucap Yoo