Assistant Language Teachers (ALT), semacam guru bahasa dari luar Jepang yang dipekerjakan oleh dewan pendidikan lokal bukan hanya diminta untuk mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah Jepang, mereka juga diminta untuk memperkenalkan budaya luar pada para murid. Hal ini memang penting bagi negara yang mayoritas penduduknya tidak pernah berinteraksi dengan orang asing. Namun, terkadang norma budaya kerap bertubrukan dengan pendapat dewan pendidikan. Hal itu terlihat dari salah satu insiden yang terjadi baru-baru ini, di mana seorang guru bahasa ALT diminta untuk melepas antingnya.
Cerita tentang ALT asal Amerika Latin tersebut dibagikan melalui akun Twitter seorang guru di suatu SD Negeri di Jepang.
Cuitan di atas berbunyi:
“Seorang ALT marah besar pada dewan pendidikan sekolah. Alasannya adalah karena ia diminta untuk melepas antingnya saat berada di depan siswa. Menurut budayanya, anting hoop dipakai sejak dini untuk menghapus diskriminasi rasial dan sebagai simbol kekuatan dan self-respect. Ia mengatakan, ‘Bukankah mempelajari bahasa asing berarti mempelajari budaya bangsa lain?”
Sang guru pun melanjutkan cuitannya dengan:
“‘Seberapa besar dampak negatif memakai anting pada siswa?’ tanya sang ALT. Saat kita datang ke Jepang, tentu seharusnya kita mematuhi budaya Jepang. Namun, kita juga bisa dekat dengan orang lain saat kita mempelajari latar belakang masing-masing. Menurut saya, seharusnya itulah yang diperlihatkan.”
Memang, meski siswa tidak diizinkan menggunakan perhiasan ke sekolah, guru-guru tidak perlu mematuhi aturan yang sama. Dan yang membuat masalah tersebut lebih parah, meski permintaan tersebut datang dari Dewan Pendidikan, mereka tak meminta sang guru bahasa melepas antingnya secara langsung, tapi meminta agar kepala sekolah mendiskusikan hal ini dengan ALT bersangkutan.
Dan tentu saja insiden ini memicu perdebatan.
“Saya adalah seorang wali kelas yang mengenakan anting dan cat kuku ke sekolah. Jika ada yang melarang, saya akan menuntut mereka atas pelecehan seksual.”
“Ada ALT di sekolah kami yang berani mengenakan anting besar di dalam kelas. Namun, hal itu membuat anak-anak mengatakan, “cantik” atau “Saya suka antingnya!” dalam bahasa Inggris. Bentuk dan warna anting pun membuat anak-anak mengatakan “pink!” dan “triangle”. Kami melakukan apapun demi anak-anak, namun reaksi dewan pendidikan…yah.”
“Jika anting dilarang karena para siswa tidak dapat memakainya, apakah itu berarti para guru tidak diperbolehkan memiliki SIM?”
“Saya pernah menegur seorang ALT agar berhenti mengunyah permen karet dalam kelas. Mereka pun benar-benar berhenti. Apa yang harus saya katakan saat mereka menjawab itu adalah bagian dari budayanya?”
Komentar terakhir sebanarnya menekankan apa yang diperjuangkan para ALT, pelajaran dan pemahaman budaya. Anting hoop memang terlihat sebagai aksesori biasa bagi orang Jepang, tapi bagi wanita Amerika Latin, anting tersebut menggambarkan sebuah perjuangan dan bukanlah hal aneh jika wanita asal Amerika Latin memakainya. Jadi, jika makin banyak orang Jepang berinteraksi dengan orang Amerika Latin, akan makin banyak yang mengerti dan paham akan adanya identitas budaya yang digambarkan lewat anting hoop.
Namun dalam kasus ini, terbaginya opini bukan hanya dari kalangan orang Jepang, tapi antara para ALT. Seorang ALT asing meminta agar koleganya itu tetap melepas antingnya agar tak terjadi pertengkaran. Artinya, bagaimana kita memperjuangkan budaya agar diterima masyarakat Jepang tidak sama seperti orang lain. Ada juga yang memutuskan untuk terpaksa melepas jati diri untuk menjaga perdamaian.
Dan hingga kini, masalah ini masih jadi perdebatan serta belum menemukan titik terang yang baik bagi kedua belah pihak. Semoga saja jika titik terangnya terlihat, masalah antara guru bahasa asing dan dewan pendidikan Jepang ini bisa diselesaikan dengan baik ya!