Berita Jepang | Japanesestation.com

Jauh sebelum mewabahnya COVID-19, orang-orang di dunia telah merasakan “pandemi” lain, kesepian.  Ya, isolasi social dapat berdampak lebih buruk pada kesehatan fisik dan mental dibandingkan merokok atau obesitas dengan risiko tinggi kematian. Dan kini, hal ini dirasakan oleh pria paruh baya di Jepang.

“Banyak studi medis yang menguraikan dampak negatif dari kesepian,” ujar ahli strategi komunikasi Okamoto Junko.

“Contohnya, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kesepian dapat meningkatkan risiko penyakit jantung sebanyak 29%, setara dengan merokok 15 batang per hari, dan dapat meningkatkan risiko Alzheimer sebanyak 2,1 kali,” tambahnya.

pria paruh baya Jepang kesepian japanesestation.com
Okamoto Junko (nippon.com)

Penurunan angka kelahiran dan urbanisasi dan meningkatnya urbanisasi juga merupakan faktor yang menyebabkan “penyakit” kesepian lebih mudah menyebar di pria dan wanita dari berbagai kelompok usia. Namun, dengan pride-nya yang tinggi dan kurangnya kemampuan komunikasi, menyebabkan pria paruh baya lebih mudah merasa terisolasi. Dalam bukunya, Sekai ichi kodoku na Nihon no Ojisan (Orang Paling Kesepian di Dunia: Pria Paruh Baya Jepang), Okamoto menjelaskan bahwa kesepian merupakan masalah besar di Jepang. Masa social distancing seperti sekarang pun bisa memperparah kondisi ini.

Kesendirian = Ideal?

pria paruh baya Jepang kesepian japanesestation.com
Pria paruh baya Jepang (pakutaso.com)

Mengapa kesepian sangat bedampak pada pria paruh baya Jepang? Ternyata, jawaban utamanya adalah budaya Jepang sendiri.

“Saat bukuku terbit 2 tahun lalu, banyak pembaca pria yang memberi respon negatif. Mereka berpendapat bahwa kesendirian merupakan suatu keharusan dan begitulah seharusnya orang-orang hidup. Mereka melihat bahwa hal tersebut menandakan bahwa mereka mampu berdiri sendiri. Padahal mereka tidak menyadari bahwa mereka kesepian,” ujar Okamoto.

Faktor berikutnya adalah “budaya konteks tinggi” yang dianut Jepang, di mana orang-orang diharapkan agar dapat mengerti satu sama lain tanpa adanya pernyataan eksplisit. Okamoto mengatakan adanya kepercayaan terhadap ishin denshin, atau berkomunikasi tanpa kata-kata dapat merusak kemampuan untuk memasukkan ide ke dalam bahasa. Para pria paruh baya memilih menghabiskan waktu mereka dalam lingkungan perusahaan di mana komunikasi hanya terjadi dalam bentuk sebuah perintah dari atasan. Karena ketergantungan ini, mereka tak mampu berkomunikasi dengan orang-orang di luar tempat kerja mereka, sangat berisiko tinggi terisolasi.  

Ketergantungan Terhadap Perusahaan

Orang Jepang produktif japanesestation.com
Seorang salaryman tertidur di kereta (pakutaso.com)

Kualitas komunikasi berdampak besar terhadap produktivitas perusahaan. Namun, perusahaan Jepang belum mampu menghargai pentingnya komunikasi antar karyawan. Menurut standar internasional, perusahaan Jepang memiliki indeks keterlibatan karyawan yang rendah, dengan rasa kontribusi, motivasi, komitmen rendah yang menyebabkan negara ini memiliki produktivitas terendah di antara negara G7.

“Mereka juga merasa bahwa mereka dipaksa mengisi posisi dan melakukan pekerjaan yang tak mereka inginkan, sehingga tak banyak koneksi dengan perusahaan ataupun kolega mereka. Seperti seekor burung dalam sangkar dan bergantung pada atasannya,” ujar Okamoto.

Setelah pensiun, para suami akan menghabiskan waktu mereka diam di rumah dan istri mereka pun akan berkata bahwa mereka terlihat seperti “sodai gomi” (sampah berukuran besar).

“Meski mereka tidak mengatakan bahwa mereka membenci pekerjaan mereka, banyak pria berumur 60 dan 70 tahunan yang menemukan makna dalam hidupnya saat pekerjaan mereka diapresiasi,” kata Okamoto.

Ya, saat harapan mereka untuk “dianggap” dipenuhi oleh perusahaan, mereka akan merasa “hampa” saat harus pension. Mereka berpikir bahwa mereka dapat menghabiskan masa pensiun mereka dengan melakukan apa yang mereka senangi, namun nyatanya mereka tidak memiliki interest apapun. Apalagi, orang Jepang biasanya hidup cukup lama kan? Tentu menghabiskan waktu dalam kesepian sangat menyakitkan.

“Di area pedesaan, mungkin masih banyak pria lansia yang terlibat dalam masyarakat melalui festival dan aktivitas lain, namun di kota besar, tak jarang ditemukan lansia yang hikikomori,” ujarnya lagi.

Terisolasi Jarak dan Teknologi

pria paruh baya Jepang kesepian japanesestation.com
Pria paruh baya Jepang (nippon.com)

Pandemi COVID-19 juga turut ambil andil. Akibat pandemi, para pegawai pun melakukan work from home, membuat interaksi langsung makin sulit. Untuk menyampaikan infrormasi secara remote, dibutuhkan gestur dan ekspresi wajah yang baik. Sayangnya, diskusi online rupanya membuat beberapa pria paruh baya Jepang tak nyaman.

Social distancing memang membuat semua orang terkurung. Hal ini juga dapat menyebabkan para pria paruh baya Jepang merasa makin terisolasi karena mereka bahkan tak dapat lagi berinteraksi dengan teman kerjanya dalam nomikai dengan teman kerjanya. Tapi, mau bagaimana lagi kan?

Modal Sosial Rendah

Modal sosial mungkin merupakan salah satu konsep yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dengan menunjukkan seberapa terpercayanya hubungan sosial dalam masyarakat. Jepang sendiri menempati peringkat 132 dari 167 negara, menandakan bahwa modal sosial mereka sangat rendah.

Menghargai Koneksi

Meski kita harus meningkatkan modal social, tetap saja rasanya sangat sulit kan?

Karena itu, solusi terbaik dan realistis adalah dengan membuat “jaringan” di tempat-tempat sederhana. Tidak perlu tempat yang memiliki hubungan erat dengan perusahaan atau keluarga, cobalah pergi ke tempat-tempat seperti kuil, café, sentō, sports gym, dan tukang cukur yang menawarkan kesempatan untuk berbincang ringan untuk mengurangi rasa kesepian.

Kontak dengan orang lain mungkin merepotkan, terutama bagi pria paruh baya Jepang yang kesepian, tapi hal ini dibutuhkan untuk meningkatkan kekuatan dalam berkomunikasi kan?