Pada Perang Dunia II, ribuan pilot Jepang gugur akibat kamikaze, sebuah serangan bunuh diri di mana para pilot ini menabrakkan pesawat yang mereka kendarai pada lawan atas nama kaisar. Bagi sebagian orang, hal yang dilakukan secara sukarela ini terkesan heroik, rela mati demi menjaga kehormatan kaisar dan negaranya. Di sisi lain, ada pula yang menganggap bahwa para pilot ini hanya sekumpulan orang Jepang fanatik, teroris, dan dicuci otak hingga mau-mau saja disuruh untuk bunuh diri. Namun, benarkah begitu? Benarkah pilot kamikaze Jepang itu heroik, patriotik dan sukarela mati demi negaranya? Ataukah ada paksaan dan tekanan dari tertentu yang membuat mereka melakukan ini?
Penggemar film mungkin ingat dengan film For Those We Love dan The Eternal Zero, dua film yang mengisahkan tentang pilot kamikaze. Dalam film tersebut, pilot kamikaze dianggap sebagai pahlawan. Namun, jika melihat survei yang dilakukan oleh Win/Gallup pada tahun 2015, nyatanya hanya sekitar 11% orang Jepang yang mengaku siap berperang membela negaranya, membuat Jepang berada dalam posisi paling rendah, dibandingkan dengan Pakistan (89%), India (75%), Turki (73%), Cina (71%), Rusia (59%), Amerika (44%) dan Inggris (27%).
Survei tersebut pun dibuktikan dengan jawaban seorang remaja Jepang bernama Shunpei. Ia memandang para pilot kamikaze sebagai pahlawan karena begitu keadaan yang terlihat dalam film-film. Namun, ia mengatakan bahwa seandainya Jepang terlibat dalam perang suatu saat nanti, ia tidak mau dan tidak siap mati demi negaranya.
“Aku tidak bisa. Aku menganggap mereka pemberani dan heroik, tapi aku tidak siap,” ujar Shunpei.
Nah, jika jawaban tersebut dilontarkan oleh seorang remaja di zaman modern Jepang, bagaimana dengan pilot kamikaze yang mayoritas masih berusia 17 hingga 24 tahun dalam menjalankan misinya? Apakah mereka benar-benar siap berkorban demi membela negara?
Untuk menjawabnya, mari kita lihat komentar dari pilot kamikaze yang masih bertahan hidup hingga hari ini yang dilansir dari BBC.
“Mungkin sekitar 60-70% dari kami siap untuk mengorbankan diri untuk kaisar, meski sisanya mungkin bertanya-tanya mengapa harus melakukan itu,” ujar Osamu Yamada (97) saat ditemui di rumahnya di Nagoya.
"Waktu itu, aku masih lajang dan tidak ada yang menghalangi pikiranku selain harus merelakan diri untuk melindungi Jepang. Namun, bagi mereka yng memiliki keluarga, pasti akan sulit,” sambungnya.
Keiichi Kuwahara (94) adalah salah satu dari mereka yang selalu memikirkan keluarganya saat ia masuk menjadi bagian unit kamikaze.
"Aku merasa wajahku berubah pucat. Aku takut, aku tidak ingin mati,” uajr Kuwahara yang menjadi pilot kamikaze di usianya yang baru menginjak 17 tahun.
"Sebelumnya, aku kehilangan ayahku, hanya ada ibu dan kakak perempuanku. Aku selalu mengirimkan uang gajiku untuk mereka. Jika aku mati, siapa yang akan memberi mereka makan?” tambahnya.
Karena itu, ia merasa lega saat mesin pesawatnya rusak dan terpaksa harus retreat.
Namun, Kuwahara tetap tercatat sebagai relawan pilot kamikaze.
"Apakah aku dipaksa ataukah sukarela? Sangat sulit menjawabnya jika kamu tidak mengerti esensi militer,” ujarnya.
Dan nyatanya, seperti dilansir dari situs ranker dan listverse, pilot kamikaze memang tidak semuanya sukarela. Para pilot kamikaze yang potensial akan diberikan sebuah kertas yang bertuliskan dengan 3 opsi: sukarela sepenuh hati, hanya menjadi relawan biasa saja, atau tidak ingin menjadi relawan. Nah, karena kertas ini bertuliskan nama pilot-pilot kamikaze Jepang, jarang ada yang menolak.
Tekanan untuk menjadi relawan pilot kamikaze sangat intens. Diktum militer Jepang pada saat itu memang kematian sebelum menyerah, dan nyatanya, memang bukan hanya kamikaze yang mengambil diktum ini. Tentara Jepang juga akan terlibat dalam bunuh diri banzai saat mereka menghadapi kekalahan. Bahkan, warga sipil Jepang lebih memilih bunuh diri dibanding ditangkap, seperti ribuan orang yang melompat dari tebing Saipan.
Tak hanya itu, di dalam kamar para pilot kamikaze potensial, mereka akan ditanya siapakah di antara mereka yang tidak ingin menjadi relawan. Tentunya, sulit kan menjadi satu-satunya orang yang tidak ingin mengorbankan dirinya sendiri, apalagi pilihan itu akan membuat hidupmu tidak nyaman nantinya.
Meskipun begitu, tetap ada setidaknya satu tentara yang memilih opsi untuk tidak menjadi relawan, meski tetap saja dimasukkan ke dalam daftar. Dalam buku berjudul Kamikaze Diaries yang ditulis oleh Emiko Ohnuki-Tierney, disebutkan bahwa, "Kuroda Kenjirō memutuskan untuk tidak menjadi seorang relawan, tapi terkejut saat ia menemukan namanya di daftar relawan untuk regu tokkotai Mitate Navy dan atasannya dengan bangga mengatakan bahwa semua anggota regunya menjadi relawan.”
Nah, dari ulasan di atas, sepertinya para pilot kamikaze Jepang tidak sepenuhnya sukarela dan patriotik ya? Bagaimana menurutmu?
Sumber: